Mohon tunggu...
Gitanyali Ratitia
Gitanyali Ratitia Mohon Tunggu... Professional -

47 yrs old Mom with 3 kids, Fans of Marilyn Monroe, Jazz & Metallica , Bali - Java SPA Owner, Positive thinker, Survival. Reiki Teacher, Angelic healer, Herbalis. I’m not the girl next door, I’m not a goody goody, but I think I’m human and I original. Life Is beautiful but sometimes A Bitch and someday It F***s You In The Ass but heeey dude! be positive.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengalaman Sakit di RS Jerman

3 Oktober 2016   03:31 Diperbarui: 3 Oktober 2016   16:39 1776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Apa? Di RS sebesar ini tidak ada apotiknya?” kataku pada suami.

 Saya geleng-geleng tidak habis mengerti sistem disini, kepala semakin berdenyut-denyut , mata semakin kabur , saya pengin nangis tetapi tidak bisa. Saya anti menangis kalau ada masalah seperti ini. Yang ada dikepala malah seribu satu pertanyaan, mengapa sistemnya aneh begini? , mengapa tidak ada apotik di RS? Mengapa tiap Departement berpencar-pencar , mengapa tidak langsung di tangani saja sekalian supaya saya tidak jalan kesana-kemari malam-malam buta begini?. Mengapa, dan mengapa saja isi kepala saya malam itu.

Saya ingat betapa pasien di RS di Singapore itu sangat dimanjakan , semua fasilitas full disana , dari kantin , apotik, cafe,  bahkan kita bisa shopping tanpa  meninggalkan area RS tersebut. Dijamin anda tidak akan kepanasan , kelaparan dan kedinginan di sana . Saya langsung pasrah sadar saya tidak di Singapore lagi.

“Kamu tahu nggak Jerman kita kurang modal , kalau RS di Singapore kaya raya kelebihan modal” begitu jawab suami .

Sudahlah saya ngalah saja tidak mau debat di malam-malam dingin , sepi nan mencekam ini. Apalagi kita mesti keluar dari gedung spesialis mata dan melewati pohon-pohon tinggi dan menyeramkan . Dahannya seperti melambai-lambai kepadaku. 

Jam sudah menunjukkan hampir pukul satu pagi. Saya genggam tangan suami erat-erat sambil memejamkan mata  , ingat kebiasaan waktu kecil kalau sedang galau dan takut. 

“Cepat sedikit jalannya “ kata suami , dia tidak tahu saya berjalan sambil menutup mata!.

Gedung khusus spesialis kulit itu tampak megah dan berwarna putih , adalah bangunan tua jaman dulu. Kami kesulitan mencari pintu masuknya. Ternyata lift tidak berfungsi di luar jam kerja, kami harus melalui pintu utama dan menaiki taangga sampai lantai ke 3 . Bangunan tua yang megah bercat putih dengan pintu-pintu dan jendela besar.

Dokter kulit yang ramah segera menangani saya dan meminta saya mondok hari itu juga. Tetapi dengan ramah saya jawab , anak saya si kecil baru berumur 9 tahun dan sendirian di rumah , jadi saya harus meminta ijin dia karena saya tidak mau dia nanti kehilangan saya tanpa  meminta ijin dulu. Jadi intinya saya mohon mondoknya  diundur besok pagi saja. Akhirnya saya diijinkan untuk kembali lagi besok paginya.

Keluar dari RS ini , kami harus menebus obat mata di apotik. Apotik 24 jam yang pintunya sudah tutup semua , hanya menyisakan sedikit lobang untuk berkomunikasi antara customer dan pegawai apotik yang melayani . Kita memencet bel apotik tersebut, kemudian lobang kecil seperti jendela terbuka , dengan lobang ini si pegawai apotik mengambil resep dan mengeluarkan obat. 

Sampai di rumah jam menunjukkan kira-kira pukul 2 pagi . Saya tetesi mata dengan salep tersebut dan segera tidur , betapa capeknya saya malam ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun