"Kenapa Anda tertarik dengan luka saya?"
"Karena Anda menjualnya. Saya belum pernah bertemu perempuan seperti Anda, yang menjual luka meski mungkin tanpa pembeli bahkan dikatakan aneh. Apalagi di tempat seperti ini. Anda tentu punya alasan mengapa menjual luka. Mungkin bukan luka biasa yang dimiliki orang-orang di luaran sana. Tak mungkin Anda menjualnya kalau semua orang pernah merasakan atau memiliki luka yang sama. Semoga analisis saya salah."
 Dan, aku tak ingin menceritakan kepadanya.
"Anda mungkin akan menjadi pembeli pertama luka saya."
"Berarti saya akan mendapat bonus?"
Perempuan penjual luka tersenyum. Pria calon pembeli luka tersenyum.
Dan, aku akhirnya bisa menjual secuil luka itu. Kepada seorang pria yang entah datang dari mana, kemudian menawar luka yang selalu tersimpan rapi meski selalu bergejolak dan meronta. Dia seakan memaksa.Â
Setelah ini aku tak akan pergi ke mana-mana. Aku ingin menetap di kota ini. Aku tak ingin lagi menjajakan luka seperti yang sudah aku lakukan di beberapa kota. Aku tak mau luka ini habis dan menggerus kenangan bersamamu. Biarkan hanya secuil yang terjual dan bagian lain tetap tersimpan seperti sediakala.
***
SENJA hampir habis. Perempuan itu masih duduk di kursi di pinggir jalan pusat keramaian. Matanya memandang lurus, menatap lalu-lalang kendaraan yang tak putus-putus seperti iring-iringan rayap pindah rumah. Menatap senyum bahagia yang menerobos dari balik semua mobil.
Di kursi lain di sebelah kanannya ada sepasang muda-mudi sedang kasmaran. Dari tatapan mata mereka keluar cinta. Dari tangan mereka yang saling bertautan keluar cinta. Dari jarak duduk mereka yang tak tersekat keluar cinta.