Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Terselip Penyakit dalam Istilah 'Kurang Piknik'

15 September 2015   13:50 Diperbarui: 16 September 2015   11:35 1741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="(Wanderlust - ilustrasi: slideshare.net)"][/caption]

Siapa sih yang tidak ingin piknik. Sebuah aktifitas leisure time yang selalu didamba tiap akhir pekan, waktu liburan panjang sekolah, atau hari-hari libur plus kejepit. Bersama keluarga, teman, kekasih bahkan sendiri, piknik menjadi kenikmatan relatif untuk setiap kita. Pilih objek wisata alam, kuliner, budaya atau sejarah di seluruh pelosok Indonesia bisa dilakukan. Atau bagi yang berduit banyak atau model pengalaman backpacker, keluar negri oke juga. Namun, karena pemerintah gencar-gencarnya memamerkan slogan 'Pesona Indonesia'. Dan dunia pun mengakui Indonesia memiliki rangkaian objek wisata eksotis. Baik yang sudah terpromosikan maupun belum. 

Dan istilah 'Kurang Piknik' pun selalu menjadi pemandangan sehari-hari. Baik di sosial media atau sekadar obrolan ringan, nampaknya kita semua dihinggapi dengan cepat epidemi stress. Karena orang malas kerja, atau mahasiswa yang ogah-ogahan kuliah dicap sebagai mereka yang kurang piknik. Rasa tidak betah dan ingin segera mencari hideways untuk sejenak melepas penat menjadi 'epidemi'. Yang kadang penyakit ini malah membuat bekerja atau belajar tidak bergairah. Alih-alih menyelesaikan semua pekerjaan. hati, fikiran dan raga kadang sudah merasa di tempat tujuan. 

Wanderlust, Mungkin Menjangkit

Adalah sebuah keniscayaaan modern, dimana orang harus bekerja dibawah naungan korporasi. Bekerja dan terus bekerja atas nama kesejahteraan pribadi adalah jargon muluk para korporat dengungkan. Bahkan ada axioma nyleneh buat para pekerja bahwa: "Semakin kita bekerja keras, semakin kaya para konglomerat". Alih-alih pekerja bisa menikmati waktu luang, lembur untuk uang menjadi iming-iming. Lalu pekerja pun merasa jika tambah uang, maka tambah lama dan menyenangkan waktu piknik nanti. Dengan angan berjuta akan keindahan tempat wisata dan suasanya yang tenang menyenangkan. Bisa saja, Anda terjangkit wanderlust.

What do suppose will satisfy the soul, except to walk free and own no superior. (Park E. Robert 2012)

Seolah piknik adalah penenang jiwa-jiwa yang gusar dan lelah, memikirkannya sudah menjadi ekstasi tersendiri. Ini adalah sebuah wanderlust. Wanderlust, yang bisa difahami sebagai keinginan atau angan-angan untuk bepergian. Seperti seorang yang bebas dari perintah dan pekerjaan, piknik adalah konteks yang sesuai untuk manusia modern. Walau Park sendiri mengacu wanderlust untuk the Hobo atau para Bohemian  yang cenderung hidup menggelandang dan bebas. Namun esensi kebebasan tersirat mencerminkan psikologis wanderlust. Walau Park sendiri dengan tegas merasa wanderlust bertentang sekali nilai status dan perusahaan. Sederhananya, wanderlust adalah penyakit sosial.

Dalam hal ini, berandai-andai yang berlebihan bisa menghambat produktifitas. Kejenuhan dan impuls untuk bisa lari dari rutinitas kehidupan sehar-hari seperti kebanyakan orang, adalah awal dari wanderlust. Orang akan mencoba perubahan atas nama perubahan itu sendiri. Lalu menjadi kebiasaan yang menjadi candu yang kemudian bergerak dalam lingkaran setan. Semakin ia ingin terus lari dari kenyataan, semakin ia harus melakukannya. Sehingga, ia mengorbankan hubungan sosial dan korporasi demi mengejar romatisme kebebasan individu. (Park: 2012)

 [caption caption="(Catarsis - ilustrasi: revistasexcelencias.com)"]

[/caption]

Dalam kajian psikologi, jiwa-jiwa wanderlust bisa masuk ke dalam karakter Tipe Subliminal. Dalam karakter Tipe Subliminal, pelepasan ego memang dapat dilepaskan (channel) dengan baik. Namun tetap, pada tipe ini wanderlust memunculkan konflik antara keinginan instingtif dan sistem ego. Jika konflik sudah wanderlust 'akut', maka karakter akan masuk ke dalam karakter Tipe Reaktif. Dan secara spesifik jatuh ke sub-tipe reaction-formation.

Dimana karakter reaction-formations ini akan menunjukkan kamuflase keinginan mendalam dengan cara melebih-lebihkan perilaku dan counter-cathexis (catarsis penahan energi mental). Seseorang akan terus bekerja demi rencana piknik yang lebih menyenangkan saat liburan nanti misalnya. Ia menyimpan keinginan namun dengan ketat ia tutupi keinginan itu dengan terus bekerja. Dengan terus menyibukkan diri, maka keinginan untuk segera piknik bisa hilang. Walau, keinginan itu menghantuinya selalu. Pada titik tertentu, bahkan wanderlust ini bisa masuk kategori gangguan bipolar. (Gerson: 1993)

Jadi wanderlust adalah penyakit? Walau belum ada parameter pasti mengukur hal ini, tapi kondisi berangan-angan ingin piknik terlalu sering juga tidak baik. Karena dalam dimensi kasuistik wanderlust mungkin tersingkap pada surface saja. Namun jika kita amati disekitar kita, bisa saja hal ini terjadi. Apalagi mereka yang selalu memposting soal 'Kurang Piknik' sedang mereka selalu sibuk dibalik meja. Atau mereka yang mengeluh untuk segera berwisata kepad teman dan keluarga, namun belum menyempatkan diri saat sempat. Kita patut waspada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun