Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Telisik Berita Hoax dengan 'Digital Dieting'

9 Desember 2016   09:08 Diperbarui: 9 Desember 2016   10:50 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Information Overload - ilustrasi: ciagency.eu

Mari berandai-andai sejenak. Anda ingin membeli sayuran lobak merah. Anda punya dua pilihan tempat berbelanja. Pertama adalah hypermarket dan yang kedua vendor khusus sayuran, buah dan daging. Anda bisa pergi ke vendor khusus sayuran, buah dan daging bukan? Tapi Anda memilih ke hypermarket. 

Di hypermarket Anda harus mencari lorong tempat sayuran dipajang. Anda diminta melalui lorong sereal, minuman, susu, dll. Saat tiba di lorong sayuran, Anda harus mencari lobak merah diantara sayuran yang beragam, Berbeda dengan di vendor khusus sayuran, buah dan daging. Bagian sayuran tidak mungkin sulit ditemukan. Lobak merah pun biasanya dipajang banyak dan berlimpah daripada di hypermarket yang kadang hanya sedikit.

Perumpamaan di atas serupa saat kita berselancar di dunia maya. Google adalah 'hypermarket informasi'. Sedang vendor khusus sayuran, buah dan daging adalah 'search engine/situs khusus'. Ya, di dunia internet banyak sekali search engine/situs khusus untuk memfilter informasi. Namun sayangnya, banyak dari kita yang belum kenal dan tahu cara menggunakannya. Dan inilah tujuan utama dari digital dieting, yaitu memfilter informasi agar kita 'sehat'.

Di artikel saya tentang Information Obesity, di sana saya elaborasi soal 'kerakusan' kita pada informasi. Yang akibatnya,  kita cenderung mempercayai berita hoax yang ada. Saat satu isu menjadi viral, maka Google search biasanya akan menempatkan situ-situs yang menyebar isu ini di halaman awal. Padahal, situs inilah yang membuat isu hoax tadi. Semua demi click dan visit dari iklan-iklan yang dipajang di situs tersebut. Tujuan komersil dicapai dengan cara yang culas. 

Dan bukan salah Google jika mengarahkan kita ke situs yang kita lihat sebagai sumber hoax. Kitalah sebagai user yang sebaiknya memahami ada cara lain men-search yang lebih baik. Ada guideline yang harus kita pahami sebelum memvalidasi satu info/berita/isu. Karena Google adalah hypermarket dari informasi yang ada. Kadang kita harus banyak melihat halaman/situs/tautan sebelum bisa yakin satu info/berita/isu bukan abal-abal.

Ada beberapa situs yang bisa kita gunakan untuk khusus mencari satu keyword/item di dunia maya. Berikut daftar situs-situs yang bisa digunakan untuk memvalidasi keyword/item benar dan valid.

  • Dogpile.com = digunakan untuk mensegregasi hasil search Yahoo, Google. Bing dan Ask. Gunakan tab 'preference' untuk membuat filter search lebih ketat.
  • Sweetsearch.com = search engine untuk siswa yang lebih baik dari sekadar Google search
  • Picsearch.com = bagi penggemar fotografi/blogging/artwork, situs ini secara spesifik bisa mencari dari sekitar 3 milyar gambar
  • Openlibrary.org = situs khusus e-book yang bisa dibaca/dipinjam/diunduh secara gratis
  • Uk.ask.com = search engine yang menjawab pertanyaan yang kita cari/tanyakan dengan topik yang sedang trending dari pertanyaan kita.

Dan mungkin ada beberapa search engine/situs lain yang Anda bisa gunakan di dunia maya. Beberapa link diatas bisa langsung membuka situs yang kita tuju.

Setelah kita tahu ada 'vendor' khusus dari hal yang ingin kita tahu, ada baiknya beberapa pertanyaa berikut pun kita ingat. Pertanyaan berikut mengacu pada prinsip critical thinking kita sebagai pembelajar. Karena percayalah, seumur hidup kita harus selalu belajar. Berikut pertanyaan yang diajukan sebelum memvalidasi satu info/berita/isu.

  1. Siapa yang menulis info yang kita baca?
  2. Keahlian apa yang kiranya penulis punyai dalam menulis info ini?
  3. Bukti/fakta apa yang disertakan/ditautkan? Apakah acuannya terpotong atau tidak utuh?
  4. Apakah situs yang memuat info ini didukung oleh sebuah institusi?
  5. Argumentasi apa yang coba dijabarkan?
  6. Kapankah info ini dirilis?
  7. Mengapa info ini muncul di momen ini saja dalam satu rentang waktu tertentu?
  8. Siapa target pembaca dari info ini?
  9. Hal apa yang kiranya belum dibahas/dijabarkan dan konsekuensi politis apa yang mungkin muncul?

Pertanyaan-pertanyaan kiranya wajib kita fahami dan lakukan sebelum percaya satu info. Namun ada kalanya, ada emosi/perasaan yang timbul saat membaca satu info/berita. Sehingga kita lupa pada cara berfikri kritis. Baca tulisan saya Mengekor Isu Sari Roti, Equil Sampai Lempar Jumrah.

Dengan maraknya berita hoax tersebar, ada baiknya literasi digital kita fahami. Salah satu hal di wacana ini adalah digital dieting yang saya jabarkan disini. Konsekuensinya, kita menjadi lebih pintar dan sehat dalam mengkonsumsi informasi. Semoga dengan digital dieting ini, kita terhindar dari godaan berita hoax yang menyesatkan.

Referensi: Digital Dieting: From Information Obesity to Intellectual Fitness. Tara Brabazon. (2013)

Salam,
Wollongong, 09 Desember 2016
01:08 pm 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun