Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Soal 4 x 6, Saat Matematika SD Diperkosa Media

23 September 2014   19:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:49 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="" align="aligncenter" width="450" caption="(ilustrasi: atlantaclickadvisor.com)"][/caption] Sudah banyak yang membahas, bahkan memperkosa logika 4 x 6 = 6 x 4 yang dianggap 'rancu'. Banyak pula yang berkomentar sesuai prism (sudut pandang) mereka sendiri. Dan artikel ini pun sebenarnya serupa, namun tidak sama. Tidak ada yang coba saya analisa dengan kuotasi atau formula Matematis. Tidak pula saya akan bedah logika yang secara umum sudah bisa terbaca akan soal 4 x 6 = 6 x 4, atau apalah. Tidak pula saya menjustifikasi atau menyalahkan sebuah sistem sengkarut pendidikan. Atau secara spesifik Mapel Matematika di SD atau bahkan guru yang memberi nilai 20. Bukan, bukan itu. Sebuah prism (sudut pandang) yang cenderung memperkosa satu ranah ilmu saya fikir sering terjadi. Seperti ranah Dekonstruksi yang dulu sempat diperkosa sesadis mungkin oleh para linguist. Para profesor Emeritus di Cambridge sana, banyak yang mentah-mentah menolak ranah Dekonstruksi. Sebuah ranah yang cenderung sesat dan jauh dari universalitas dan ontologis ilmu. Ranah yang juga merancukan aliran Filosofi Barat yang sudah terlalu 'dominan'. Merancukan antara subjek logosentrisme dengan istilah inter-textualitas. Sehingga, saya pun sempat 'bersitegang' dengan ilmiah dengan pak Nararya menyoal Dekosntruksi ini. Bukan, saya pun tidak mencoba menyamakan 'level' logika berfikir ilmu Derrida dengan Matematika anak SD. Karena toh, saya tidak mencoba membahas hal tersebut. Saya pun minim pemahaman dalam Matematika. Cukuplah artikel atau berita yang ada membahas hal tersebut. Walau terlihat agak cemplang atau tidak setara, sejatinya ada hal yang serupa dari analogi Dekonstruksi dengan isu 4 x 6 = 6 x 4. Kedua-duanya sama-sama diperkosa dan diadili secara masif. Namun, berbeda cakupan kontekstualnya. Rumus sengkarut logika 4 x 6 = 6 x 4 sudah diperkosa dan diadili banyak sekali prism. Ada kandidat doktor fisika, ada pemerhati pendidik, ada pendidik itu sendiri, atau budayawan atau pengamat ilmu sosial. Namun, yang saya lihat 'pelaku utama' pemerkosa logika 4 x 6 = 6 x 4 disini adalah media, khususnya media sosial. Secara viral (membabi buta) setelah hasil foto dari hasil PR Matematika yang ternyata hanya mendapat 20 diunggah di Facebook. Ramai dan riuh, akun dan pengguna medsos menanggapi dan 'memperkosa'. Bahkan, sampai diadili menurut saya. Ada yang sampai bilang gurunya yang bloon, walau secara eufemis. Dengan dalih logika, pola himpunan hitung, profesionalitas kompetensi pedagogis, dll. Yang intinya, cuma sekadar menjustifikasi guru SD yang memberi nilai 20 itu bloon. Atau yang berpandangan netral dan akhirnya pola fikir universalis ala pluralis mendominasi. Walau Matematika itu ilmu eksakta, namun dengan isu ini Matematika menjadi ilmu sosial. Bahkan cenderung masuk ilmu sosial budaya. Dimana, komentar, berita atau opini tidak jauh meyalahkan sistem pendidikan kita. Beragam dalih dan preposisi terlontar. Baik sekadar opini atau mengalaminya sendiri. Kenetralan justifikasi dengan menyalahkan sistem lebih dianggap baik. Karena toh sistem tidak akan menuntut balik. Netralitas opini yang lebih mengacu sisi humanis. Manusia tempatnya salah dan lupa. Maka, sebaiknya kita semua menyalahkan sistem. Media, Si Buruk Rupa Berkedok Pangeran Tampan Demam medsos di Indonesia sepertinya sudah sampai taraf panas-demam. Semua yang heboh dan trending di medsos, kini menjadi berita mainstream. Utak-atik redaksi dan analisa sudah menjadi bahan gunjingan media mainstream. Prism kelompok dan golongan pun ramai-ramai memperkosa berita atau isu yang menggejala. Serupa dan masih sering terjadi, berita hoax medsos menyoal Capres dan Presiden terpilih. Hingga saat ini masih muncul di media mainstream melalui referensi medsos. Penyebaran menjadi viral ketika akun memiliki ribuan atau jutaan teman atau follower. Apalagi, ada corong media maintream yang membekingi salah satu golongan. Isu logika Matematika SD 4 x 6 = 6 x 4 saya kira lebih diperkosa media. Sedang saya, Anda dan kita semua adalah penikmat adegan pemerkosaan logika ini. Kita menikmatinya dengan prism kita sendiri. Semua berkomentar dan semuanya berdalih. Salah? Tidak. Benar? Juga tidak. Namun, itulah media. Isu-isu kritis seperti ini adalah honeypot (daya tarik) suatu berita. Isu kritis yang bukan kritis, namun berbau subjektifitas atau nasib hidup. Seperti isu pembolehan aborsi, nasib dokter yang malpraktik, TKW yang hendak dipancung. Isu-isu subjektif ini akan lebih berasa manis saat ada isu SARA terlibat. Seperti tuduhan-tuduhan (bluffing) SARA terhadap Jokowi atau Ahok. Isu yang menjadi honeypot media. Logika Remeh Yang Tidak Sekadar Temeh Lalu kenapa isu 4 x 6 ini menjadi subjektif? Pertama, medsos awal pengunggah bersifat subjektif, Facebook. Dimana kasus ini berasal. Facebook serupa tempat curhat dan uneg-uneg dimuntahkan. Hampir semua status atau post berbau subjektifitas. Dan, pengunggah logika Matematika 4 x 6 = 6 x 4 saya lihat mencoba menumpahkan kekesalannya pada guru SD adiknya. Lalu secara viral tersebar. Dan media mainstream menyoroti. Voalah, dalam beberapa waktu saja, isu ini melebar dan diperkosa banyak prism. Mulai dari sudut pandang filsafat logika, sampai ilmu sosbud, bahkan politis dan birokratis digunakan untuk memperkosa isu ini. Kedua, karena subjek anak SD yang cenderung lemah dan penurut juga menjadi bahan bakar isu 4 x 6 = 6 x 4 ini. Anak SD atau anak-anak kita ke depan, tentunya sulit membantah apa yang menjadi otoritas guru. Namanya orang dewasa satu-satunya di kelas. Maka murid SD menganggap ia benar, benar segala benar. Jarang saya kira ada murid SD yang kritis dan berani menyanggah gurunya. Kecuali, dari sejak kecil sudah dilatih hal demikian. Isu kepolosan dan manutnya anak SD menjadi bahan bakar agar isu ini terus diperkosa. Mungkin sebentar lagi, ada talkshow televisi swasta atau berita yang akan mengundang guru SD 'tersangka'. Sekaligus profesor Matematika plus pengamat pendidikan kompeten untuk berbicara. Intinya, 'meluruskan' isu ini. Sehingga, isu subjektifitas dan kepolosan anak SD menjadikan isu ini semena-mena diperkosa di media. Melalui media sosial, lalu ke media maintream. Logika sederhana 4 x 6 = 6 x 4 yang jika dianalogikan dengan ranah Dekonstruksi yang sudah berpuluh tahun ada, mungkin berbeda. Dekonstruksi tidak disoroti media sosial atau mainstream. Tapi lebih 'ganas' lagi, dikuliti ilmu hebat dan konservatif filsuf ilmuwan Barat. Dan ia bertahan. Walau logika 'remeh' 4 x 6 = 6 x 4 sudah ada sejak Matematika ada. Namun, karena medsos yang dijejali subjektifitas dan kepolosan anak SD, maka diperkosa ramai-ramailah logika ini. Akhirnya, saya juga memperkosa isu ini pula. Dengan prism saya. Mencoba melihat sengkarut tanda-petanda yang sengkarut dalam logika sederhana ini. Salam, Solo, 23 September 2014 12:25 pm

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun