Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Prabowo Telah Mencemari Prabowo

26 Juli 2014   07:02 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:12 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi: mentalhealthresource.blogspot.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="396" caption="(ilustrasi: mentalhealthresource.blogspot.com)"][/caption] Prabowo yang kian kemari kian mengaum bak 'macan', kiranya mencederai Prabowo itu sendiri. Maksud saya bukan perilaku atau martabat dirinya sebagai Capres dari koalisi Merah Putih beserta para pemilih yang hampir 48%. Namun, sejatinya ia, pribadi sang Prabowo telah mencederai individu atau orang yang bernama Prabowo. Stigma ini akan semakin kuat dan negatif, jika Prabowo (sang Capres) akan semakin blunder dan merajalela di masa depan. Sehingga, mungkin saja, 10-15 atau bahkan dalam waktu dekat tidak ada orangtua yang mau menamai anaknya Prabowo. Etimologi nama Prabowo sendiri sebenarnya baik dan bermatabat. Dalam bahasa Jawa, nama Prabowo berasal dari dua kata, pratama (pra) dan wibowo (bowo). Pratama atau pra berarti pertama. Sehingga, wajar adanya jika kata pra atau pratama ini melekat pada anak pertama. Sedang, wibowo atau bowo sendiri berarti wibawa, kharisma atau kedigdayaan diri. Sehingga, dari namanya terpancar harapan agar anak pertama ini berwibawa di kehidupannya. Dan memang mawujud dalam diri Prabowo (sang Capres) itu sendiri. Banyak orang, menganggap dirinya berwibawa dan memiliki digdaya sendiri. Karena karir militer dan pengalamannya, wajar adanya Prabowo demikian. Namun sekali lagi, sang Capres sejatinya, telah menodai nama Prabowo itu sendiri. Sejarah Mencatat Tabunya Sebuah Nama Bagi kita yang lahir setelah masa pemeberontakan PKI pada tahun 1960-an, siapa yang tidak kenal D.N Aidit atau Dipa Nusantara Aidit. Beliau adalah pemimpin senior Partai Komunis Indonesia. Entah kenapa, PKI yang dipropaganda media ala Orde Baru beraura negatif adanya. Apalagi film dokumenter G/30S-PKI yang selalu ditayangkan dan diulang-ulang di mainstream media waktu itu. Nama Aidit menjadi momok tersendiri di masyarakat. Entah di suata daerah ada atau tidak. Selama saya hidup dan bersosialisasi, tidak ada orang yang bernama Aidit; adapun Adit. Sehingga, nama Aidit sendiri menjadi sebuah tabu tersendiri untuk nama seorang anak. Baik nama depan, tengah atau belakang (marga). Di Indonesia, posisi manapun tidak menjadi masalah nama itu berada. Ada penelitian yang meneliti betapa nama, menjadi tabu untuk saudara atau anak, bahkan generasi berikutnya. Masih ingat sang Fuhrer Nazi, Adolf Hitler. Setelah ditelusuri selama lebih dari 30 tahun lamanya. Walau tidak memiliki anak, namun keluarga dekat yang berhubungan darah dengan Hitler memilih untuk menyembunyikan diri dan cenderung menghapus nama Hitler dalam nama marganya. Nama keluarga atau marga Hitler sendiri didapat dari ayah tiri Adolf Hitler. Bahkan adik Hitler, Paula mengganti namanya demi keamanan dengan nama Wolff. Adapun yang memiiki marga Hitler, yaitu sang keponakan, William Patrick Hitler. Lahir dan besar di Liverpool Inggris, William adalah anak dari adik tiri Adolf Hitler, Alois Hitler Jr. William dengan pamanya selalu berseteru, terutama William yang suka sekali memeras pamannya. Akhirnya mereka berpisah. Dan William menetap di Amerika Serikat dengan merubah namanya menjadi Stuart-Houston. Dimana, saat Nazi berkuasa ia mendaftarkan diri di Navy, dan berperang melawan pamannya sendiri. Dan, Stuart memiliki empat orang anak. Yang tentunya, ke-empat anaknya tidak ada yang bernama Hitler. (sumber: dailyperversion.com) Bahkan pada tahun 2008, seorang bayi yang diberi nama Adolf Hitler Campbell tidak bisa memesan nama untuk kue ulang tahun ke-tiganya. Sang ayah menganggap nama Adolf Hitler keren dan tidak ada orang yang memakai nama tersebut. Sayangnya, saat ingin membeli kue ulang tahun dengan nama anaknya tertulis diatasnya, toko kue menolak. Toko kue di ShopRite di New Jersey menolak menulis nama sang anak. Walau si ibu telah memesan jauh hari, manajer toko menolak menuliskan nama tersebut. Pihak ShopRite pun sebenarnya telah menolak hal yang sama dari orangtua Adolf Hitler Campbell dua tahun sebelumnya. Pada tahun sebelumnya, orangtua anak itu meminta tanda swastika di kue ulang tahun anaknya. Namun, manajer ShopRite menolak. (berita: nbcnews.com) Saatnya Sang Capres Berhenti Menodai Nama Prabowo! Walau tidak mungkin menyandingkan level 'kekejaman' Aidit atau Hitler dengan nama Prabowo. Ada hal yang pasti diingat generasi saat ini. Nama Prabowo setidaknya terkait dengan sang Capres gagal di Pemilu 2014. Apalagi media disekitar Prabowo yang terus mengulang namanya. Kemudian menunjukkan 'kebesaran' dan 'kebenaran' sang mantan Jendral ini. Ada sebuah propaganda automaton, bahwa sang Jendral maha 'benar'. Walau faktanya, Prabowo saat ini jatuh-bangun, pontang-panting dan membabi buta menyatakan dirinya yang pantas jadi Presiden. Koalisinya mulia retak. Para pemilihnya merasa kecewa dan 'dibohongi' aura wibawa yang selama ini mereka percaya. Publik mulai jenuh dan mudah meledak kapan saja. Jika sang Capres, Prabowo, kembali bermanuver banyak media men-stereotipenya sebagai manuver putus asa. Semua manuvernya, hanyalah aktualisasi kekecewaan. Dan kebetulan kekecewaan ini difasilitasi rapuh dan reaktifnya oknum disekitar Prabowo. Dengan dalih ala konspirasi dan merasa paling benar sendiri. Prabowo menolak hasil Pilpres dan mengundurkan diri. Bukan cuma itu, kini ia menantang masyarakat untuk bisa melihat 'kebenaran' yang ia nyatakan. Kebenaran yang publik anggap kesia-siaan belaka. Malah semakin mencederai Prabowo. Beserta namanya. Kasihan, mereka yang saat ini memiliki nama Prabowo. Ada imaji atau citra yang akan langsung mengaitkan dengan sang Capres. Olok-olok atau bully mungkin saja diterima. Atau, malahan ada orangtua yang sudah berfikir tidak akan menamakan anaknya Prabowo. Karena ada 'noda' tersendiri yang dicatat sejarah di Indonesia. Belum lagi di dalam fikiran masyarakat Indonesia. Bahwa nama Prabowo terkait langsung atau tidak langsung dengan sang Capres. Jadi, sang Capres Prabowo haruslah bijak dalam hal ini. Bukan saja manuver 'anehnya' saat ini melukai publik dan sistem demokrasi Indonesia. Namun jauh dari saat ini, melukai indahnya dan berwibawanya nama Prabowo. Salam, Solo 25 Juli 2014 11:44 pm

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun