Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mudik Itu Tidak Sekadar...

25 Juli 2014   05:24 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:17 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="405" caption="(foto: kabar24.com)"][/caption] Mudik itu tidak sekadar pulang ke kampung halaman. Atau, mudik itu tidak hanya sekadar sebuah tradisi di akhir Ramadhan. Lebih dari itu semua, mudik menjadi sebuah momen berharga sebuah keluarga. Baik keluarga yang cukup besar dengan beberapa anak, cucu atau bahkan cicit yang tinggal berjauhan. Ataupun, keluarga kecil yang cuma berbeda kota namun dalam satu propinsi. Momen mudik adalah waktu dimana hal-hal berikut berpadu menjadi satu. Tumpah ruahnya rasa dan cipta, membuat mudik itu bukan sekadarnya. Mudik is a struggle and hustle Mudik itu adalah perjuangan. Mem-booking tiket moda transportasi, atau menyewa mobil jauh hari sudah menjadi perjuangan tersendiri. Bahkan, jauh sebelum bulan Ramadha tiba tiket atau rental mobil sudah dianggarkan dalam budget keluarga. Lalu, the hustle atau deru arus mudik pun pasti dirasakan. Mulai dari macet moda transportasi darat. Telat atau terlambat moda transportasi udara atau laut. Semua dirasakan dan mencoba menikmati. Mereka yang jauh menuju kampungnya, macet dan berdesakan di perjalanan adalah kenikmatan tersendiri. Karena dengan struggle and hustle ini, obrolan ringan kelurga besar pun terjadi. Mudik is an addiction and tradition Mudik sudah menjadi candu. Mereka yang kampungnya jauh diseberang pulau, pasti rindu mudik. Atau mereka yang tidak memiliki kampung seperti eks-patriat Muslim, mudik ke tempat istri atau suaminya adalah mudik sesungguhnya. Betapa hambar rasanya Lebaran tidak dirasakan dengan mudik. Pergi menengok kampung halaman, orangtua, dan sanak saudara. Dari candu mudik, lalu menjadi tradisi suatu keluarga. Tradisi yang tidak putus pada tiap generasi. Dulu mungkin kita diajak orangtua kita mudik, sekarang kitalah yang melakukannya. Sekarang kita pun mudik dengan putra-putri kita. Tradisi akan tetap ada dan terjaga. Semua demi satu tujuan. Menjaga tali persudaraan dan silturahim. Mudik is an intimacy and memory Momen mudik sudah serupa keintiman tersendiri untuk anggota keluarga. Rasa memiliki dan saling perduli tercermin saat satu kelurga yang sekian lama terpisah, bersatu. Momen yang selalu hangat dan penuh suka adalah momen sungkeman. Momen setelah solat Ied, yang selalu dinanti. Semua anggota dengan suka dan apa adanya, saling meminta maaf. Dan, momen ini adalah sebuah memory yang tidak pernah terlupakan. Betapa orangtua, kakek-nenek, oma-opa, atau sanak saudara mungkin kali ini terakhir bersua. Atau tahun kemarin masih ada satu kakek yang duduk di salah satu bangku, di Lebaran ini ia telah tiada. Betapa memori itu melekat dan menjadikan mereka yang telah tiada hadir di hati kita. Semoga yang sedang mudik selamat sampai kampung halaman. Atau yang sudah di kampung halamannya, semoag ber-Lebaran dengan suka dan cita. Salam, Solo 24 Juli 2014 10:18 pm

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun