Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Membaca Terus, Kapan Menulisnya?

1 Desember 2015   15:30 Diperbarui: 2 Desember 2015   08:39 694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Writing - ilustrasi: photobucket.com"][/caption]Ini yang menjadi kebiasaan 'buruk' saya. Berangan-angan menjadi penulis hebat, tapi malas menulis. Itulah saya. Setiap hari hanya terus membaca. Dari membaca berita sampai novel-novel yang baru dibuka bungkusnya, semua dibaca. Tidak lupa membaca karya-karya orang hebat di Kompasiana. Dari tulisan berbobot, berotot, sampai dibuat melotot ada di Kompasiana. Dari tulisan yang renyah sampai tulisan berupa iklan sampah juga ada disini. Beragam style dan genre tulisan seolah tumplek-blek di Kompasiana. Semakin saya membaca tulisan orang-orang hebat ini, semakin malas saya menulis.

Saya merasa, kadang, minder juga dengan tulisan Kompasianer (K'ers) yang bagus. Andai bisa double-vote, akan saya vote aktual dan menarik satu artikel. Kenapa? Karena selain menarik. Gaya tulisan dan sudut pandang atrakif dan inovatif dipaparkan padat jelas dan bergas. Semakin saya larut dalam artikel banyak K'ers, semakin malas jatuhnya untuk menulis. Bukan karena kekurangan ide. Hanya saja ide yang saya punya sudah ada yang menulis. Kadang lebih berisi daripada yang saya punya. Ide menulis pun tertunda. Draft coret-coret di note ya hanya draft saja. Atau ide-ide yang melayang di kepala nanti saya tangkapnya. Mungkin suatu saat nanti saya tulis. Entah kapan nanti.

Ya, minder karena saya sering merasa tulisan saya jelek. Hanya coret-coretan yang semisal lukisan, bukan sebuah aliran. Namun pelengkap dari popularitas tulisan yang lebih bagus. Istilahnya bootleg. Tulisan saya adalah setitik pasir di lautan literasi manusia yang luas. Siapalah saya yang sehari-hari hanya bisa menulis apa yang ingin ditulis. Dibayar pun tidak. Menulis hanya mencoba menyajikan apa yang bisa saya olah dari fenomena yang saya lihat. Mengganti kemasannya. Lalu menyajikan dengan kata-kata yang dirias di fenomena tadi. Walau coreng moreng, setidaknya ada yang suka.

[caption caption="Quote - ilustrasi: laurenwakefieldphotography.com"]

[/caption]Salahkah terus membaca? Tidak. Tidak ada yang salah dengan membaca. Dalam tulisan saya Mau Nulis Apa Ya??, menjadi silent reader juga memberi manfaat. Istilahnya, memberi nutrisi pemahaman buat fikiran kita. Toh tidak selamanya apa yang kita tulis berasal dari apa yang ada dalam kepala. Inspirasi bisa 'terbakar' saat ada tulisan yang menyulutnya. Atau saat tidak ingin menulis, tapi memaksa menulis. Maka tulis saja kehampaan. Seperti dalam tulisan saya, Hampa Menulis, Tulis Saja Kehampaan Itu, kadang kosong itu berisi. Tidak ada fikiran yang kosong. Hanya kadang ide menulis itu sendiri adalah kekosongan.

Atau tulisan saya yang aneh dan nyleneh soal kebuntuan menulis. Tulisan saya, Buntu Menulis, Bukan Berarti Tidak Menulis, jangan pernah ditiru. Karena berisi unek-unek yang harusnya cuma dibuat coret-coret pribadi. Tapi nyatanya ada juga yang membaca. Karena buat saya pribadi, tidak menulis juga mendatangkan 'penyakit'. Penyakit rindu berbagi kata dengan K'ers atau pembaca lain. Penyakit fikiran yang penuh dengan sumbat. Tulisan saya Derita Tidak Menulis, sedikit menggambarkan 'penyakit' ini. Dan akhirnya jika saya diam saja tidak menulis, malah kelelahan sendiri. Tulisan ini bisa menggambarkan sedikit rasa itu, Lama Tidak Menulis Itu Melelahkan.

Menulis itu seumpama share-economy yang bergema di era digital ini. Banyak yang bisa menulis, namun jarang yang bisa berbagi soal apa yang ingin ditulis. Karena mungkin ide dan gagasan mereka begitu berharga untuk dibagi ke orang lain. Seperti Uber atau Go-Jek yang menggunakan kendaraan pribadi agar sama-sama untung. Tulisan kita dihargai beragam. Ada yang super jahat dengan meng-copas karya kita. Ada juga yang baik super mencantumkan sumber dan nama kita di karya mereka. Meninggalkan jejak digital di Kompasiana kiranya memberi investasi portofolio diri di dunia digital. Kompasiana untung dengan konten gratis. Kita untung karena diverifikasi hijau/biru. 

Jadi menulis dan membaca menjadi mata rantai mutual. Membaca memberi nutrisi fikiran. Menulis pun menyemai nutrisi untuk orang lain. Jika menurut tulisan saya, What to Write and When to Publish Here in Kompasiana, kalau mau trending atau headline digalang, maka ada timing yang harus digunakan. Memperoleh populeritas di Kompasiana bukan sekadar mengundang kontroversi sesaat. Cobalah Menilik Iklim Artikel di Kompasiana. Tapi konsistensi yang harus menjadi habit. Apalagi ditambah karakter kuat. Karena hakikat menulis menurut saya bukan nature, tapi nurture (lihat tulisan saya, What is Actually Writing). 

Tidak ada pula parameter yang menjadi acuan ekuilbrium antara ukuran membaca dan menulis. Semua berjalan seiring. Banyaknya dari tiap aktifitas tergantung individu. Dan di Kompasiana, jangan sampai menjadi Kompasianer yang Tidak Kompasianis.

Salam,

01 Desember 2015

03:31 pm 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun