Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Derita Tidak Menulis

24 Februari 2015   05:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:37 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi: clubthrifty.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="(ilustrasi: clubthrifty.com)"][/caption] Sudah hampir terbilang lima hari saya belum menympatkan diri menulis. Karena harus menengok keluarga saat libur Imlek kemarin, laptop saya pun hanya saya bawa-bawa kemana-mana. Pulang-balik Solo Bandung dalam waktu 3 hari plus ditambah kegiatan kampus, menyita waktu. Sempat beberapa kali mencoba duduk diam mneghadap laptop, tapi ada saja yang mem-block jari-jari untuk menulis. Mulai dari ingin memprioritaskan family time, sampai mengerjakan tugas-tugas pelatihan dari Bandung. Meluangkan waktu untuk menulis menjadi agak sulit dipilah. Hanya sekali dua kali menengok email dan menjadi silent reader Kompasiana lewat HP, menulis hampir tidak pernah. Saya kebetulan tipe pembelajar visual. Dimana apa yang saya lihat saya rekam dan olah dalam fikiran. Untuk kemudian 'ditumpuk' dalam memori. Untuk kemudian diurai dan diuntai menjadi kata-kata. Konsep-konsep yang ada dalam kepala ini memangkadang tumpang tindih. Mana yang hendak saya tulis dahulu, biasnya akan bertumpuk dengan ide atau berita aktual lain. Namun, karena sering berlatih menulis di Kompasiana dan catatan ringan yang saya buat sendiri, saya berhasil 'mengontrol' laju ide yang sudah terkumpul. Satu per satu dipilah sesuai konteks dan alurnya dalam tulisan. Mencoba agar nampak koherensi dan pesan yang ingin disampaikan. Jika sudah 'terbentuk' dalam satu konsep besar, biasanya baru 'membentuk' menjadi satu tulisan utuh. Dan, inilah yang menjadi derita pribadi jika lama tidak menulis. Terlalu banyak konsep-konsep dan ided tulisan yang bersliweran dalam fikiran. Saat hendak waktu tiba mewujudkan mereka ke dalam tulisan, prioritas bisa berubah-ubah. Semakin lam ditumpuk, semakin banyak pula 'derita' fikiran. Saat banyak sekali isu aktual dan renungan yang saya tumpuk, kadang semakin sulir mewujud ke dalam tulisan. Campur-aduknya ide ini pun menjadi block internal dari dalam diri. Selain faktor-faktor eksternal seperti waktu dan kelelahan, banyaknya prioritas yang berjibun mendera ingin agar segera menulis. Tulis apapun itu. Mungkin juga seperti tulisan yang saya buat sekarang. Saya juga bukan tipe orang yang suka membuat ploting atau kerangka tulisan. Bukan pula tidak setuju atas hal membuat plot. Karena pada tulisan akademik, hal ini penting adanya. Seperti laporan, jurnal, riset bahkan disertasi. Semua memiliki alur dan plot yang pasti. Sedang model tulisan berupa opini atau bahkan cerpen (belum terbit) yang saya buat, biasanya tanpa plot. Karena semua sudah ada dalam fikiran berupa visualisasi ide yang saya rekam pada satu fenomena atau berita, plot sebenarnya sudah ada. Hanya memang hakikatnya masih abstrak. Kadang pun, mengurainya malah ngelantur kemana-mana. Yang tadinya target 500 kata, kadang bisa sampai 800 - 1.000 kata. Walau kadang ingin menghilang bagian ini-itu, tapi sayang. Karena ada pesan dan kesan yang ingin saya sampaikan dari kata-kata yang terlanjur saya tulis. Dengan atau tanpa plot, tulisan yang saya buat tetaplah menjadi rekreasi batin. Menulis, menjadi sebuah realm (alam) yang selalu bisa membuat ruang-ruang fikir saya kembali lengang. Dari begitu banyak yang saya saksikan untuk kemudian diekstrak menjadi ide abstrak yang lalu dibekukan menjadi tulisan, fikiran saya kemudian bisa kembali meruang. Memberi ruang untuk semua ide yang mungkin dilihat dan didapat. Dari apapun, siapapun, kapanpun dan dimanapun, fenomena yang saya lihat berlimpah. Walau kadang, beberapa konsep gugur dan melayu. Namun bukan berarti tidak akan saya tulis. Hanya menunggu antrian untuk kemudian dibangkitkan suatu waktu. Dan Kompasianer atau penulis di Kompasiana saya yakin punya cara spesifik untuk menulis. Dan keunikan inilah yang menjadi warna tiap penulis. Semangat terus menulis. :-) Salam, Bandung, 23 Februari 2015 10: 43 pm

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun