Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perkara Konten Nakes Diskriminasi Pasien BPJS dan Etika Media Sosial

18 Maret 2023   22:58 Diperbarui: 20 Maret 2023   15:59 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar video viral nakes bedakan pasien umum dan bpjs banjir hujatan warganet.| Dok Akun TikTok @rintobelike2

Kembali terjadi, nakes memposting hal yang menyulut kontroversi. Tiga nakes dari Puskesmas Lambunu, Parigi Moutong dianggap mendiskriminasi pasien BPJS dengan umum. Dalam kontennya, ketiga nakes mengumpamakan pasien BPJS dikerjakan malas-malasan. Sedang pasien umum atau non-BPJS dispesialkan pelayanannya.

Netizen yang tahu geram melihat tingkah ketiga nakes. Netizen pun gercep menelusur konten salah satu nakes. Dari konten yang diposting jelas ada hal tidak etis juga dipertontonkan. Ramai-ramai netizen mem-bomb review Puskesmas ketiga nakes. Walau jelang sore, mereka akhirnya mengklarifikasi dan meminta maaf.

Beberapa kasus nir-etika postingan medsos juga pernah terjadi. Di bulan Juni tahun lalu, nakes nir-etika berjoget di depan ibu yang menunggu pecah ketuban demi konten TikTok. Nakes di Martapura OKU Timur Sumsel tahun lalu, malah live TikTok saat melakukan proses lahiran.

Bahkan, bukan hanya nakes yang melakukan pelanggaran netiket, tenaga medis pun sama. Di tahun 2021, seorang dokter muda dikecam karena dianggap senonoh mempraktikkan gerakan vaginal touche demi konten. Bahkan calon dokter yang kolabs bareng seorang influencer, caption video dan jogetnya dianggap merendahkan keluarga pasien.

Konten TikTok Ketiga Nakes yang Menggambarkan Diskriminasi Pasien BPJS dan Umum (suara.com)
Konten TikTok Ketiga Nakes yang Menggambarkan Diskriminasi Pasien BPJS dan Umum (suara.com)

Ada satu hal yang luput dari pelaku kasus di atas. Seolah sebelum memposting konten, mereka lupa berpikir. Mereka lupa berpikri disini berarti THINK (True, Helpful, Inspiring, Necessary, dan Kind). Konten sebaiknya faktual, membantu, menginspirasi, perlu, dan baik. Sesederhana itu.

Tapi dari kasus-kasus di atas, sepertinya membuat konten didorong beberapa faktor: 

Pertama, demi engagement dari followers. 

Ada tuntutan subtil dari followers agar akun populer memposting. Followers merasa menjadi lebih dekat sekaligus memiliki mereka. Bagi akun populer, minim posting bisa berarti kehilangan followers.

Kedua, demi sensasi atau kontroversi. 

Akun populer ingin terus berusaha menambah followers dan engagement organik. Sensasi yang dilakukan dengan joget atau challenge bisa dilakukan. Mem-posting isu-isu kontroversial juga bisa dilakukan. Baik sentimen positif atau negatif, yang penting ada awareness dari netizen untuk akun mereka.

Ketiga, demi menghibur. 

Faktor ini jelas mengaburkan penalaran. Karena hiburan sering menampilkan humor, kekonyolan, atau spontanitas. Pembuat konten seolah lupa ada konteks dan pesan yang mungkin menyinggung bahkan melecehkan orang lain. Karena dianggap 'lucu-lucuan', padahal kontennya bisa menyinggung atau memicu trauma.

Kembali pada kasus nakes joget diskriminasi BPJS, ada sudut pandang lain. Mereka menyoroti realitas pelayanan BPJS yang juga banyak orang alami. Bahkan isu pelik ini diakui sendiri oleh Dirut BPJS tahun lalu. Bisa jadi, apa yang terjadi di Puskemas Lambunu dan dipraktikkan nakesnya, ada isu diskriminasi itu sendiri.

Ketiga nakes dari Puskesmas Lambunu yang viral ini jelas tidak mengira konsekuensinya. Jelas mereka telah merencanakan dan mendiskusikan joget dan caption. Ketiga nakes mungkin berpikir kontennya lucu dan tersirat, menggambarkan apa yang mereka telah lakukan selama ini, yaitu diskriminasi pasien.

Mereka juga tidak berpikir jejak digital yang telah ditinggalkan. Sekali posting diunggah, sulit dilacak dan dihapus. Konten viral nir-etika mereka menjadi aib permanen. Secara psikis mereka bisa mengalami stress dan mengurung diri. Secara profesional, mereka bisa diasingkan organisasi profesi yang tegas menjaga kode etik.

Mungkin beda responnya jika netizen yang melakukan joget seperti 3 nakes. Organisasi profesi nakes sampai Kemenkes mungkin akan turun tangan. Bisa tanggapannya mendiskreditkan si netizen pembuat konten. Respon lebih baik mungkin akan ditanyakan faskes mana yang masih mendiskriminasi pasien BPJS.

Bagi tenaga profesional dengan kode etik, netiket medsos sebaiknya menjadi bagian kurikulum dan praktik. Tidak sekadar mempelajari interaksi dan etika di internet. Tetapi juga mitigasi krisis komunikasi digital dan mungkin sampai cek fakta pada hoaks. 

Salam,

Wonogiri, 18 Maret 2023

10:58 pm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun