Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Terlalu Banyak Kekerasan di Media Sosial

6 Maret 2023   22:49 Diperbarui: 7 Maret 2023   18:48 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Abuse oleh Alex Green/pexels.com

Beberapa bulan ke belakang semakin banyak informasi kekerasan beredar di medsos. Walau medsos memang menjadi ajang bebas berbagi informasi, termasuk kekerasan. Entah mengapa frekuensi, jenis, dan modus kekerasan di semaking tinggi. Sering juga informasi kekerasan ini diangkat media arus utama.

Platform medsos jelas membutuhkan konten dari pengguna. Hampir setiap detik jutaan bahkan ratusan juta informasi dibuat dan disebar di medsos. Mulai dari konten remeh seperti mengumumkan cuaca hari ini. Sampai informasi darurat seperti bencana alam atau kebakaran ada di medsos.

User atau pengguna pun menjadi prosumer atau produsen dan konsumen. Seseorang dengan akun akan bisa membuat konten. Sembari waktu, ia akan juga menjadi konsumen konten users lain. Siklus ini begitu cepat dan real-time terjadi. Membalas komentar teman di Facebook. Men-share info KRL di Twitter adalah beberapa contohnya.

Sisi gelap dari model prosumer adalah kebebasan berbagi dan lemahnya moderasi. Sulit bagi platform medsos terus mengawasi dan men-take down konten yang menyalahi Community Guideline. Tenaga manusia ada batasan psikisnya dalam memoderasi konten kekerasan. AI yang memoderasi pun memiliki bias.

Konten kekerasan datang dengan beragam rupa. Informasi kecelakaan sering naik menjadi berita media online dan TV. Kasus pembunuhan dan bunuh diri sering menjadi trending. Kasus bully, persekusi, sampai pelecehan kadang ditelusur sembrono oleh acara gosip.

Sekiranya ada beberapa faktor pendorong mengapa frekuensi konten kekerasan makin marak. 

Pertama, anonimitas user. Dibalik akun anonim, seseorang dengan mudahnya membagikan informasi bernuansa kekerasan. Karena dibalik topeng ini, user menjadi lebih terjaga identitasnya. Lebih jauh, interaksi dengan akun anonim penyuka konten kekerasan pun bisa lebih nyaman secara online daripada offline.

Kedua, mudah dan murah akses. Internet Indonesia memang terbilang tidak murah. Namun, terkoneksi online telah menjadi kebutuhan. Sehingga selalu ada cara dan biaya untuk bisa online. Sindrom FOMO mendorong lebih jauh ketergantungan untuk bisa online dan bermedsos ini.

Ketiga, cross-platform medsos. Tidak dipungkiri, konten antar platform kini tidak bisa dibatasi lagi. Baik konten via WhatsApp, Facebook, Twitter, TikTok, dsb kini sekali klik dibagikan di platform berbeda. Kemudahan mengunduh video di masing-masing platform juga mendorong penyebaran konten lebih luas.

Keempat, moderasi platform lemah. Moderasi platform menjadi filter pertama konten yang tidak sesuai aturan. Karena begitu masifnya konten dibagikan. Sekaligus AI yang belum optimal memahami kultur dan keberagaman bahasa dan budaya. Konten kekerasan menjadi kian mudah dibagikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun