Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ngga Viral, Ngga Rame

28 Februari 2023   00:04 Diperbarui: 28 Februari 2023   00:35 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mask oleh Jose Antonio Alba (pixabay.com)

Viral sudah menjadi pedang bermata dua. Ia bisa menyelesaikan masalah. Tapi ia juga bisa mendatangkan masalah. Dari level individu sampai institusi, menjadi viral diinginkan bila baik. Sebaliknya, tidak diingikan bila konsekuensinya tidak diduga. Kalau tidak viral tidak ramai. Kalau sudah ramai baru viral.

Dalam keramaian ini, perhatian didapatkan. Seumpama tukang obat dengan TOA besar di pasar malam. Suara menggelegar, tidak biasa dan unik membentuk kerumunan. Dalam kerumunan ini, perhatian difokuskan bersama. Walau bisa jadi, beberapa orang memang dibayar untuk berkerumun.

Medsos sebagai medium kelindan narasi manusia, memfasilitasi viralitas. Viralitas adalah tentang kerumunan. Kerumunan yang meneriakkan masalah. Atau kerumunan yang membenahi masalah. Ada kerumunan yang dimediasi pihak berwajib. Ada juga kerumunan yang sengaja dibubarkan. Bisa dengan membuat kerumunan lain.

Kasus viral yang menghiasi linimasa begitu cepat berganti. Namun tidak lelah netizen untuk mengerumuni. Batasan waktu, tempat, kuota, dan tenaga tiada pernah habis. Ada saja netizen yang ingin viral dengan cara apapun itu. Ada juga yang meminta tolong untuk diperhatikan.

Menjadi viral menjadi ajang penghakiman atas nama moral dan nalar. Netizen yang merasa dilanggar hak, privasi, sampai perlakuan pidana bisa memviralkan kasusnya. Kasus serupa yang netizen pungut di linimasa juga bisa menjadi viral, selama ada pelanggaran yang terjadi. Tak jarang pula para pengemis perhatian ikut gempita kasus viral.

Seiring pelaku atau tertuduh dalam kasus viral dimassa netizen. Menelusuri jejak digital pelaku juga dilakukan. Jejaring pelaku menjadi korban potensial. Di luar kendali jejaring pelaku, netizen kalau sudah marah tidak bisa dicegah. Dibalik skill teknis, anonimitas, dan dislokasi, doxxing bukan perihal sulit.

Setelah jejak digital ditemukan untuk mendukung penghakiman pelaku. Netizen pun main hakim bersama-sama. Homogenisasi opini dan labelisasi negatif pada pelaku menjadi pendorong. Dalam kerumunan ini, pembenaran atas cyber bully, review bomb, doxxing bisa dinormalisasi.

Dampak dihakimi netizen sungguh luar biasa. Distribusi informasi medsos yang sangat cepat dan tanpa kendali adalah ketakutan nyata. Dikenal di medsos karena kasus viral adalah mimpi buruk yang tak berakhir. Walau waktu dan linimasa berganti kasus viral begitu cepat. Tapi traumanya sepanjang hayat.

Jejak digital menjadi pusara pengingat trauma menjadi viral. Menelusur nama sendiri via mesin pencari mendatangkan kecemasan. Apalagi sampai nama lengkap diri diangkat media online penyembah SEO. Kasus viral yang melekat nama pribadi di Google sudah serupa nomor tahanan, tapi abadi.

Keriuhan viral mungkin telah berakhir bagi banyak orang. Tapi tidak dengan nuansa dan dampak pada pelaku kasus viral. Semakin ditilik kembali, semakin menyedihkan. Jangan baper di medsos bisa mudah dikatakan bagi yang belum pernah jadi trending. Sekali menjadi trending karena kasus negatif, yang dirasa lebih dari baper.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun