Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Propaganda Komputasional: Negara Menggembosi Demokrasi (Part 2)

7 Februari 2023   00:28 Diperbarui: 7 Februari 2023   00:38 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cyber Attack oleh Mati Mango (pexels.com)

Propaganda komputasional jelas akan menggembosi demokrasi. Pengaruhnya bukan hanya di negeri sendiri, tapi di negara lain. Apalagi dengan kepentingan menebar pengaruh. Tulisan pertama membahas reinkarnasi propaganda putih negara menjadi serangan siber dua arah. Maka jelas propaganda komputasional memiliki dua fokus fungsi. 

Pertama, propaganda komputasional sebagai kontrol atas informasi. Aktor yang utama dalam aktivitas ini adalah negara otoritarian untuk menekan, memojokkan, dan menenggelamkan kritik dan sentimen kepada negara. Apalagi saat teknologi surveilans sudah sangat canggih, kontrol dan monitor atas populasi negeri sendiri dan asing mungkin dilakukan. 

Kedua, propaganda komputasional juga merupakan sebagai operasi asing via media sosial. Aktivitas manipulasi dilakukan oleh negara asing dengan sarana media sosial. Operasi ini umumnya lintas negara. Media sosial menjadi medium yang murah, cepat, efektif, dan personal untuk melakukan praktik devide et empera.

Laporan berjudul Challenging Truth and Trust: A Global Inventory of Organized Social Media Manipulation tahun 2018, mengkonfirmasi hal di atas. Rangkuman dari laporan tersebut menyebutka:

  • Kampanye manipulasi media sosial diselenggarakan secara resmi di 48 negara, naik dari 28 negara tahun 2017. Kampanye hitam medsos ini dilakukan partai politik atau lembaga pemerintah untuk memanipulasi opini publik di dalam negeri.
  • Partai politik tersebut akan menyebarkan hoaks selama Pemilu. Upaya tak demokratis ini juga dilakukan lembaga pemerintah yang merasa terancam oleh berita sampah. Lembaga ini juga mewaspadai campur tangan asing.
  • Kampanye hoaks sering sekali terjadi di aplikasi obrolan seperti WhatsApp, Telegram, dan WeChat. Dan propaganda komputasional di medsos masih melibatkan otomatisasi akun dan tim buzzer. Mereka juga semakin memanfaatkan iklan berbayar dan SEO.

Kampanye menyebarkan hoask jelas tujuannya mempengaruhi persepsi demi mencapai manipulasi dan disrupsi. Propaganda komputasional macam ini mengeksploitasi masifnya data pribadi pengguna melalui algorithmic micro-targeting. Sehingga linimasa target users adalah konten modifikasi. Konsekuensinya, terjadilah perubahan pada kognisi dan perilaku politik dari konten yang diterima users.

Mekanisme propaganda komputasional dengan memanfaatkan algoritma, automasi, iklan, dan SEO cara terlicik dan terlicin. Manipulasi informasi menyesatkan telah pula ditulis dalam laporan di atas. Dari hasil analisis aktivitas propaganda komputasional, ada beberapa fakta yang juga telah didapatkan. 

  • 78% atau 61 negara yang mengimplementasi propaganda komputasional menggunakan akun asli
  • 80% atau 56 negara memanfaatkan akun bot atau akun palsu yang dikendalikan secara otomatis
  • 11% atau 7 negara juga menggunakan akun cyborg atau akun bot yang juga dikendalikan orang asli
  • 7% atau 5 negara juga menggunakan jasa dari peretas atau akun curian
  • 71% atau 50 negara menyebarkan propaganda yang sifatnya pro-pemerintah atau pro-partai tertentu
  • 89% atau 62 negara mengeksploitasi propaganda komputasional untuk mendiskreditkan lawan atau oposisi politik
  • 34% atau 14 negara mendistribusikan informasi yang didesain untuk memecah belah atau mempolarisasi

Penggembosan demokrasi jelas tercermin dari propaganda komputasional. Secara tersembunyi, terstruktur dan masifnya kampanye ini, sampai diskusi online sehat dapat terancam. Media sosial yang sejatinya euforis sekaligus demokratis menjadi ladang surveilans negara atas warga negaranya sendiri.

Preferensi politik dalam Pemilu menjadi contoh pelik dan memprihatinkan. Dampak propaganda komputasional merusak dan merisak nilai-nilai demokrasi dan diganti tirani. Polarisasi yang terjadi pun dijaga guna menjaga hegemoni dan diskusi yang lebih homogen dan terarah demi kepentingan penguasa.

Lebih mengerikan lagi, saat propaganda komputasional menginvasi ranah politik dan demokrasi negara lain. Batasan bahasa, waktu, dan akses bukan lagi halangan. Tanpa sadar dan terus dibawah pengaruh negara asing, populasi sebuah negara pecah bahkan bergolak. Tak jarang bisa menggulingkan pemerintahan berkuasa.

Salam,

Wonogiri, 07 Februari 2023

12:27 am

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun