Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Milenials dan Senjatanya, Smartphone

4 Februari 2023   00:46 Diperbarui: 5 Februari 2023   14:12 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Smartphone Social oleh fauxels/pexels.com

Generasi Milenials lahir dalam rentang waktu 1981-1996. Generasi bertumbuh seiring ledakan teknologi luar biasa. Mulai dari era komersialisasi PC, internet sampai munculnya smartphone dialami. Mereka mengalami era analog sekaligus digital seiring mereka dewasa. Ada banyak memori dan pelajaran dari perbedaan era.

Smartphone atau telepon pintar pun kini menjadi senjata. Adagium yang kita tahu, no picture is hoax, telah dieskalasi. Berbekal kamera video dan media sosial, fakta adalah sentimen yang telah terlanjur viral. Konten viral demi views, engagement, dan followers adalah kunci. Yang penting viral dulu. Klarifikasi belakangan jika konten merugikan orang lain. 

Baru saja viral video TikTok yang dianggap melecehkan tapi dibungkus humor. Bukan lelaki kepada perempuan, tetapi sebaliknya. Si perempuan seolah-olah bertanya, tapi jarak bicara sangat mepet. Si konten kreator pun meminta maaf karena tidak berpikir panjang dampaknya. 

Video seorang perempuan, memframing seorang lelaki melecehkan dirinya di gym. Seorang pria menatap si perempuan pembuat konten yang sedang workout, dicap cabul. 

Netizen berpikiran lain pada framing si perempuan. Perilaku si perempuan dianggap melanggar privasi dan etika. Walau akhirnya ia mengaku salah dan mengklarifikasi drama yang telah ia buat.

Walau tidak selamanya senjata ini merugikan. Kisah Tiko merawat ibunya yang depresi di rumah mewah terbengkalai contohnya. Selama 12 tahun, dengan cara apapun Tiko merawat sang ibu. Setelah viral, banyak orang peduli dan segera membantu. Sang ibu pun segera dibawa ke pihak kesehatan mental untuk dirawat.

Kendali jelas ada pada kontrol logika diri dan pemahaman netiket. Jika cuma sekadar video yang direkam sendiri dan tidak diposting di sosmed, tidak akan jadi masalah. Faktor-faktor ini telah mengaburkan batas etika dan privasi. Walau kadang tidak harus viral.

Faktor pertama, emosi yang melemahkan nalar dan etika. 

Dalam kondisi penuh amarah dan kebingungan, jangan mengeluarkan ponsel. Tidak semua yang direkam dan diposting untuk viral dapat memberi manfaat atau pelajaran. Video perempuan di gym di atas menjadi salah satu contoh.

Faktor kedua, kemudahan akses. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun