Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membedah Tipologi "Viral Dulu, Baru Diurus"

29 Januari 2023   00:35 Diperbarui: 29 Januari 2023   00:49 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guns oleh Anna Shvets (pexels.com)

Netizen terbiasa membaca kalimat, viral dulu baru diurus, di linimasa medsos. Viral sudah menjadi the last resort dari masalah atau isu yang sulit mencari jalan keluar. Perhatian, keprihatinan, dan kemarahan netizen pada isu atau pelaku yang mempersulit korban adalah kunci.

Proses biar segera diurus yang diharapkan karena viral pada umumnya begini. Pertama, seorang korban ingin kasus peliknya diperhatikan netizen. Kedua, korban bisa men-tag atau me-mention tokoh penting/influencer. Ketiga, setelah influencer mendapatkan engagement tinggi dari kasus yang diangkat, trending didapatkan. Kelima, karena trending, media mainstream melirik, menginvestigasi, dan mengangkatnya jadi berita.

Dalam model viral dulu baru diurus ini juga melibatkan beberapa pihak. Pertama, seseorang atau organisasi yang tertimpa kasus. Mereka memiliki bantahan atau bukti mengklaim dirinya tidak bersalah. Mereka menginginkan keadilan, tanggung jawab, atau pun ganti rugi dari kasus yang menimpa. Namun ada juga pihak korban merekayasa kasusnya agar viral.

Pihak kedua adalah orang atau institusi yang dituduh melakukan kesalahan. Pihak tertuduh ini pada umumnya tidak menyangka kasusnya akan menjadi viral. Pihak tertuduh, jika benar melakukan kesalahan, akan mengklarifikasi atau meminta maaf. Jika menjadi fitnah atau rekayasa belaka, mereka akan mengambil jalur hukum.

Pihak ketiga adalah netizen dan/atau influencer. Pihak ketiga ini sifatnya resiprokal. Karena bisa jadi kasus yang ingin disoroti diangkat oleh netizen untuk kemudian diangkat influencer, selebtweet, selebgram, dsb. Bisa juga, pihak ketiga adalah netizen yang kemudian dibantu influencer agar kasus viral. Intinya, pihak ketiga inilah yang akan melambungkan kasus agar viral.

Pihak-pihak terlibat dalam kasus viral dulu baru diurus juga memiliki resiko bahaya masing-masing. Resiko ini akan mempertaruhkan aspek reputasi, identitas, jejak digital, bahkan kerugian finansial. Dari pihak-pihak yang terlibat, berikut beberapa resiko bahaya yang ditanggung.

Pada pihak korban kasus, identitas dan jejaring mendapat sorotan, baik positif dan negatif. Positifnya, kasus akan selesai dan netizen menunggu akhir drama kasus. Jika kasus terbukti hanyalah fitnah, reputasi korban ternoda. Jejaring korban 'abal-abal' ini akan ditelusur netizen. Akibat pada akun korban ini berupa RAS (report as spam), cyberbully, review bomb, sampai persekusi dunia nyata.

Dalam hal durasi, waktu pun menjadi taruhan bagi korban. Semakin lama kasusnya tidak viral, semakin putus asa bisa diselesaikan. Tak jarang, jika pelaku yang memiliki uang, pengaruh dan perangkat dapat mengubah trending yang memojokkan dirinya. Perang tagar atau trending bisa terjadi. Gabungan netizen dan pelaku lebih sering menang daripada pelaku.

Pada pihak pelaku, reputasi menjadi taruhan terbesar. Ketika reputasi hancur, akibatnya pada karir, kepercayaan, dan pendapatan bisa terhenti. Karena netizen mudah tergiring, baca terprovokasi, akibat seperti pihak korban bisa didapatkan. Sayangnya, kadang jikapun pihak pelaku dinyatakan tidak bersalah, netizen yang terlanjur menyerang malah terdiam. 

Pelaku yang benar melakukan permasalahan biasanya akan bereaksi. Baik dengan langsung mengklarifikasi atau menyelidiki kasusnya. Tak jarang diperlukan upaya untuk memviralkan juga klarifikasi. Jika klarifikasi pelaku benar, dan korban telah salah tuduh ini yang luar biasa. Sering ada kesunyian percakapan komunal di linimasa pada kasus ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun