Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mimpi-Mimpi WFH untuk Anak Muda

14 Januari 2023   23:41 Diperbarui: 17 Januari 2023   07:23 1185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
WFH oleh Andrea Piacquadio (pexels.com)

Work from Home (WFH) menjadi terma yang cukup trending saat pandemi Covid-19. Karena alasan kesehatan dan keselamatan diri, WFH pun dilakukan. Karena PPKM di kota-kota besar, kantor pun tidak bisa memaksa karyawannya untuk masuk kantor. WFH ada dilakukan force majeure. Itu dulu, kini bisa menjadi pilihan.

WFH banyak disimpulkan sebagai bekerja sambil mengurus rumah. Beberapa orang malah mengganggap WFH berarti libur. Walaupun banyak juga yang tidak setuju dengan WFH. Beberapa orang juga belum dan tidak akan terbiasa dengan WFH. Orang pekerja lapangan pun akan sulit dengan model WFH dalam bekerja.

Tentunya WFH adalah bagi para pekerja resmi dan memiliki kantor. Bagi remote worker pun, perlu memerlukan porsi waktu untuk berkunjung ke kantor. WFH sudah barang tentu bukan hal yang baru bagi freelancer, pekerja seni, atau mungkin yang kantornya memang di rumah.

WFH menjadi model pekerjaan impian untuk anak muda. Dengan kecakapan digital yang cukup, WFH juga sudah dicontohkan pekerja lain saat pandemi. Ditambah juga kemudahan perangkat dan akses internet. WFH adalah untuk anak muda masa kini. Tapi benarkah demikian?

Bagi mereka yang terbiasa WFH sejak pandemi tentu memiliki strategi tertentu. Beberapa pekerja masih memimpikan model WFH yang ideal itu seperti apa?

Pertama, yang memiliki ruang dan meja kerja khusus di rumah. Bagi yang mendadak WFH, fasilitas ini tentu sulit diwujudkan dan mahal. Jikapun mampu, pasti memerlukan uang untuk membeli furnitur. Mungkin juga merombak atau menambah ruangan di rumah. Dan pernak-pernik lain yang mendukung produktivitas WFH.

Kedua, perangkat elektronik yang menunjang. WFH dapat berarti melakukan meeting Zoom atau mendelegasikan kerja via Slack. Karena biasa menggunakan perangkat kantor, laptop di rumah pun kadang tidak cukup. Beruntung jika kantor memfasilitasi perangkat digital. Tapi kadang prasarana juga diperlukan.

Ketiga, perlunya optimalisasi prasarana. Prasarana seperti koneksi internet, kamera HD, mic, sampai background hijau kadang diperlukan. Internet yang baik dan stabil berarti membeli paket yang lebih mahal. Kamera bawaan laptop, dan mic dan green screen kadang diperlukan untuk meningkatkan rasa PD saat meeting online.

Keempat, penjadwalan jam kerja yang baik di rumah. WFH berarti sama durasi kerjanya, 8 jam setiap hari. Aktivitas bekerja harus dimulai pukul 08:00 pagi sampai 16:00. Inginnya tanpa hambatan dan godaan. Tapi kenyataan berbeda. Di rumah berarti; ada anak yang ajak bermain atau tetangga minta garam. Dan sampai godaan ngemil tak henti sampai tidur siang berlebihan.

Kelima, motivasi dan produktivitas yang konstan. Dengan durasi bekerja serupa di kantor, motivasi untuk bekerja baiknya tetap terjaga. Ingin menyelesaikan kerjaan tepat waktu dan lebih banyak. Tapi dengan godaan instrinsik dan ekstrinsik, dua hal ini sulit didapat. Motivasi sering kendor karena merasa sendirian. Produktivitas menurun karena gangguan teknis, keluarga, dsb.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun