Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Panggung yang Rapuh

29 November 2019   23:05 Diperbarui: 30 November 2019   12:08 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Selfie oleh bruce mars - Foto: pexels.com

  • "Boom, besok Instagram tidak lagi aktif. Dirimu pun bukan lagi model!"
  • "Boom, besok Twitter tidak lagi aktif. Dirimu pun bukan lagi aktivis!"
  • "Boom, besok Facebook tidak lagi aktif. Dirimu pun bukan lagi publik figur!"

Pada layar smartphone kita, tersimpan kekuatan panjat eksistensi diri. Sebelum 2018, Atta Halilintar dikenal sebagai bagian dari Keluarga Halilintar. Kini ia memiliki lebih dari 15 juta subscribers di YouTube. Bahkan sebuah telur pun bisa mendapat 7,6 juta followers di Instagram. 

Siapa pun dan/atau apa pun memiliki kesempatan yang sama mendapat popularitas. Dengan popularitas itu juga, tersimpan potensi finansial yang menggiurkan. Popularitas tinggi pun mengundang starstruck syndrome bagi fans. Tak jarang, karena tekanan popularitas stress pun mendera.

Media sosial menjadi perantara kita dan kemasyuharan. Video viral lip sync Sinta dan Jojo di tahun 2010 mengantarkan mereka menjadi sorotan publik. Begitupun dengan video viral Iyus Sinting menganiaya kakeknya sendiri yang menghantarkan dirinya ke kantor polisi.

Walau bertolak belakang dari aspek dampaknya. Kedua fenomena video viral melambungkan nama baik duo Sinta-Jojo dan Iyus. Orang-orang ini cepat menjadi terkenal. Namun juga cepat sekali terlupakan.

Bagi beberapa orang, mereka bertahan dengan popularitas di medsos. Sehingga muncul beragam istilah baru buat mereka. Dari mulai selebgram, influencers, KOL (Key Opinion Leaders), sampai buzzers. 

Kelompok seperti ini mengekspolitasi dengan baik beragam hal. Dari mulai skills, produk, gagasan, dan teori menjadi konten mereka. Sehingga pada akhirnya orang-orang seperti ini dicirikan dari hal-hal yang menonjol dari niche yang mereka tekuni.

Dalam ketekunan mencapai stardom dan fortune. Para influencers tak jarang menemui beragam kendala dan rivalitas. Karena 'market' influencer kian jenuh dan variatif. 

Tak jarang vendor atau sponsor mencari influencers lain yang mau dibayar lebih rendah. Dan mau mempromosikan barang, jasa, dan pengaruh lebih giat.

Membayangkan pada satu masa, Instagram gulung tikar. Bisa jadi predikat model atau selebgram hilang saat itu juga. Seseorang akan kembali menjadi bukan siapa-siapa. 

Setelah reputasi publik figurnya hilang bersama tutupnya Facebook. Seorang yang begitu lekat dengan isu aktual akan dijuluki aktivis. Tetapi akan segera hilang kebanggaannya jika Twitter shutdown selamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun