Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Prabowo Diangkat Menteri, Lalu Buat Apa Pemilu Kemarin?

21 Oktober 2019   23:23 Diperbarui: 22 Oktober 2019   00:20 1812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pawns oleh Metsik Garden - Foto: pixabay.com

Kita seolah ditipu mentah-mentah. Kuasa (kembali) adalah tentang kompromi dan lobi elitis. Langkah-langkah demokratis memilih pemimpin di Pemilu sudah menguap urgensi, tragedi, dan esensinya. Toh, Prabowo kini diangkat menteri Jokowi. 

Namun toh, ada baiknya melihat segala sisi hal ini. Ada sisi positif yang terbersit. Prabowo dan Jokowi sedang memfilter kembali gerbong politiknya. Orang-orang yang dulu dianggap penumpang gelap tentu gerah. Saat ada yang gerah, disanalah berkumpul para perisak sesungguhnya negeri ini.

Tidak ada Pemilu yang sempurna. Pemilu pun bukan soal pihak mana yang kalah atau menang. Tetapi memilih pihak dan sistem yang bisa menjalankan amanat rakyat. Karena siapa pun yang terpilih akan menjadi nahkoda pemerintahan negeri ini. Seburuk apapun kepemimpinannya.

Namun toh, tidak juga harus Pemilu menjadi aksi tipu-tipu berdemokrasi. Lawan politik kemarin serupa sandiwara empat babak. Saat pertikaian online dan offline usai. Lingkar orang berkuasa kembali berkelakar mencari kursi nyaman, kembali.

Yang rugi adalah rakyat Indonesia. Polarisasi publik dibentuk. Lalu dipelihara. Untuk kemudian dibenturkan. Semua untuk mengglorifikasi kontra narasi di Pemilu. Ini adalah keculasan yang kini dibaptis dengan euforia. Meluapkan untuk melupakan.

Di Pemilu 2019 lalu, publik dibuat berseteru dengan bayangannya sendiri. Ribuan akun dibuat seolah-olah berdebat mencari kebenaran. Saling mencaci jika junjungannya dimaki. Bahkan dua pria Madura berduel karena beda pilihan Capres. Salah satunya orang tewas. 

Dipenjara karena sebar hoaks soal Pemilu juga ada. Dan yang paling diingat dan terus menjadi referensi kita adalah hoaks dari Ratna Sarumpaet. Demi kuasa, seorang ibu yang mencari cara menjadi cantik ditumbalkan. Ia menjadi korban gelagat dan skenario jahat gerbong oposisi (dulu).

Dan yang paling menjadi tragedi, adalah kematian 500 lebih petugas KPPS. Pemilu 5 kotak dengan polarisasi politik yang ekstrim kemarin adalah kelalaian. Mirisnya, masih saja ada konspirasi culas bernarasi para petugas ini mati diracun. Sebegitu picikkah bentukan fanatisme pada Capres. 

Para korban tragedi Pemilu ini kini terlupakan. Atau sengaja dilupakan. Saat ada jabat tangan Prabowo dengan Jokowi. Plus kabarnya ada jatah 3 menteri tambahan untuk Gerindra yang merupakan gerbong oposisi (dulu).

Maka, esensi Pemilu untuk menjalankan amanat demokrasi menjadi keruh. Jika pada akhirnya pihak berseteru bisa berkompromi mencari posisi. Jika rakyat pada akhirnya kembali ke tempat tidur dan menyadari. Buat apa ia keluar dari grup WhatsApp keluarga bila jadinya seperti ini. 

Tidak bermaksud menganalogikan frontal. Jika kemenangan Golkar di era Orba bukan jadi rahasia bahkan menjelang Pemilu. Jadi apa Pemilu 2024 nanti sudah bisa dipastikan kubu yang menang adalah mereka yang berkompromi?

Jokowi memulai pemerintahannya dengan awan mendung dunia. Saat Hong Kong, Libanon, Spanyol dan Chile bergejolak. Jokowi akan memaparkan kabinet dengan optimisme. Menggaet Prabowo bisa jadi jalan mengurangi tensi dan gesekan sosial. Persis asumsi saat Jokowi menggandeng Ma'ruf Amin sebagai Cawapres guna meredam santernya klaim negatif bernuansa agama. Dan Jokowi berhasil.

Politik kini bukan lagi adagium, esuk dele sore tempe. Alias semua orang bisa 'munafik'. Pada akhirnya, menciptakan kondisi bangsa yang stabil dan kondusif juga menjadi keinginan semua pihak. 

Walau sekali lagi, patut disayangkan sia-sianya Pemilu kita kemarin. Perjuangan demokratis memilih pemimpin digadai dengan senyum simpul dan kompromi pelaku politik.

Terlalu banyak ekses dan residu negatif yang kini memenuhi iklim demokrasi kita. Dan untuk menghilangkannya, bukan lagi dengan cara reaktif atau malah represif. Ada sisi kognitif dan afektif yang patut dipikirkan dan dijalankan bersama.

Salam,

Wonogiri, 21 Oktober 2019

11:19 pm 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun