Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Anak dan Minimnya Panutan Orangtua Soal Literasi Digital

23 Juli 2019   22:53 Diperbarui: 13 April 2022   10:19 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak dan Gawai oleh Maya Anggreni - Foto: pexels.com

Orangtua mana yang tidak akan sedih melihatnya anaknya merengek minta dibukakan YouTube. Platform video terbesar di dunia ini kini tak ayal menjadi baby sitter anak jika ia tidak bisa diam, menangis, bahkan sampai tantrum.

Bermain gim, baik offline atau online, menjadi aktivitas harian anak. Bak muscle memory, beberapa anak begitu getol bermain gim. Sampai-sampai ada yang orangtua yang habis 11 juta rupiah demi diamond untuk gim Mobile Legend anaknya. 

Anak-anak pun menjadi bahan eksploitasi platform sosmed. Walau belum berumur 13 tahun atau lebih. Banyak orangtua sudah membuatkan anaknya akun sosmed. Konsekuensi pahit terjadi di India. Aplikasi TikTok diduga memfasilitasi eksploitasi dan pornografi anak-anak.

Bahkan aktivitas yang kadang orangtua anggap sepele. Seperti mengunggah foto anak mereka ke sosmed pribadi. Menjadi fenomena sharenting yang tidak hanya memberikan ruang oknum picik menyalahgunakan foto anak. Tapi di masa depan membuat anak menjadi tidak percaya diri.

Banyak orangtua, termasuk saya, khawatir anak kecanduan YouTube. Mungkin juga melarang mereka terlalu sering main gim di ponsel. Mengawasi hampir setiap waktu akun sosmed anak. Karena anak terlanjur dibuatkan (dan minta dibuatkan) akun sosmed sendiri.

Aktivitas nyata yang dilakukan orangtua atas kekhwatiran orangtua seperti di atas yaitu:

  • Melarang anak dengan himbauan sampai gertakan saat terlalu lama di depan gawai
  • Meminta anak main di luar rumah daripada di kamar dengan ponsel ibunya terus-menerus
  • Mematikan WiFi atau hotspot di dalam rumah agar anak bosan sendiri saat tidak online
  • Membatasi pembelian pulsa dan/atau kuota internet gawai milik anak
  • Menyimpan semua gawai di rumah selama beberapa waktu agar anak belajar.

Namun ironisnya, orangtua kadang tidak konsisten dan memberi contoh buruk kepada anak. Bukan saja orangtua, tak jarang inkonsistensi dicontohkan orang di sekitar anak. Mulai dari paman, kakek-nenek, sampai teman sepermainan. 

Saat anak dilarang terlalu lama bermain gawai. Lalu alih-alih diminta mengerjakan PR atau tugas sekolahnya. Sang ibu malah cekikan melihat YouTube di ruang tamu dengan ponselnya.

Ketika anak diminta bermain di luar rumah orangtuanya. Supaya ia tidak bermain ponsel ibunya seharian. Di rumah temannya, si anak malah mencuri kesempatan bermain dengan gawai temannya.

Akses WiFi atau hotspot memang dibatasi usai Magrib tiba. Anak pun tak punya pilihan selain belajar atau kena marah. Tapi anehnya, si bapak sembari membantu anak mengerjakan PR-nya. Ia sibuk online dengan kuotanya untuk membalas beragam chat WhatsApp.

Anak yang bingung karena habis kuota internet kini tak kalah pintar. Ia bisa saja mengakali ponsel kakeknya yang bisa dijadikan hotspot. Dan hanya si anak yang tahu password untuk bisa terkoneksi hotspot ponsel sang kakek.

Dan menyimpan semua gawai di rumah selama beberapa jam, juga bukan alasan. Anak akan bisa menyimpan kemarahan karena hal ini dianggap tidak adil. Dan ia pun "membalas dendam" bermain gawai saat waktu penyitaan berakhir.

Anak akan selalu mencari panutan dalam segala aktivitas sosialnya. Baik pada orang-orang terdekat atau pada orangtuanya langsung. Segala aktivitas, ekspresi, sampai gaya berbicara akan bisa dicontohkan anak kelak. 

Dan dalam hal memahami dunia digital sekaligus aktivitasnya. Orangtua saat ini masih gagap. Contoh tindakan nyata didasari kekhawatiran berlebih dan ironi pada penerapannya, mungkin saja terjadi.

Child Smartphone oleh Kaku Nguyen - Foto: pexels.com
Child Smartphone oleh Kaku Nguyen - Foto: pexels.com

Karena minimnya panutan baik untuk anak memahami literasi di dunia digital. Anak pun mencari ke segala penjuru matanya memandang tentang gawai dan dinamikanya. 

Jika sang anak melihat ayahnya selalu membawa HP saat sedang makan. Lalu mengapa dirinya tidak boleh melakukannya? Jika ibunya saja begitu intim dengan ponselnya di tempat tidur. Lalu mengapa saat dirinya melakukan hal serupa, sang ibu malah memarahinya?

Jangan pernah menganalogi logika dan perasaan anak sekecil dan sebatas tubuhnya. Logikanya tidak kerdil. Malah tumbuh dan terus belajar. Perasaannya juga tidak senaif yang diasumsikan. Ia rentan dan mudah merekam dan mereka kembali pengalaman di masa depan.

Saat perilaku dan kebiasaan orangtua lekat dan intim dengan gawai. Tak heran perilaku dan kebiasaan anak dengan gawai juga terjadi. Pun, malah menjadi berlipat baik dalam efek secara positif atau pun negatif.

Seorang anak lebih tahu banyak perkembangan digital dan dinamikanya. Lebih daripada orangtua. Anak pun akan lebih mutakhir mengutak-atik perangkat keras (hardware) dan lunak (software). Daripada orangtuanya yang hanya tahu upload foto dan membalas chat.

Anak pun akan lebih up-to-date menyoal dinamika dunia digital. Hiperkonektivitas anak dengan teman, sekolah, hobi, sampai urusan cinta sudah dimediasi vias gawainya. Contohnya, anak lebih bisa lebih faham cek fakta atas hoaks daripada orangtuanya.

Guna menjadi bagian dari dunia digital natives sang anak. Orangtua atau orang terdekat anak wajib mengubah hal-hal berikut:

  • Mindset tentang gawai dan konektivitasnya. Karena gawai bukan lagi soal terus-menerus terkoneksi apa yang ada di luar rumah. Namun membuat apa yang di luar rumah (berupa informasi) bermanfaat untuk keluarga.
  • Kebiasaan terpaku fikiran dan tenaganya dengan gawai. Di mana dalam dan di luar rumah, pekerjaan menghantui kita via akses gawai. Namun, istirahatkan sejenak fikiran dan tenaga untuk anak di rumah. Bermainlah. Duduk dan tersenyumlah. Dengarkan keluh kesah dan cerita anak.
  • Aktivitas karib dengan gawai di dalam rumah. Jikapun orangtua bekerja via perangkat digital di rumah. Berikan pengertian anak tentang rentang waktu orangtua harus bekerja dengan gawainya. Lalu membantu PR anak, bermain bola, dsb dengan anak di waktu yang disepakati.

Seperti candu, gawai juga menjadi adiksi untuk orangtua. Pada awal detoksifikasinya, mendisrupsi mindset, kebiasaan, dan aktivitas dengan gawai di rumah memang sulit. Namun, jika tidak dilakukan segera. Baik anak dan orangtua akan kucing-kucingan berinteraksi dengan gawainya.

Salam,

Wonogiri, 23 Juli 2019

10:52 pm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun