Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menantikan Fenomena "Ojol Bubble"

6 April 2019   16:56 Diperbarui: 8 April 2019   03:41 1009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: KOMPAS/PRIYOMBODO

Penyimpangan aplikasi ini khususnya pada modus order fiktif. Dimana mitra menggunakan akun tuyul untuk mengelabui aplikasi seolah-olah terjadi layanan antar. Pembuat order fiktif ini kabarnya bisa meraup uang sampai IDR 10 juta per hari. Sindikat order fiktif ini sudah diaman polisi dan dikenai sanksi merugikan aplikator.

Keenam, munculnya potensi kerawanan sosial. Masalah ini menjadi agregasi dari beberapa isu diatas. Perilaku teledor berkendara mitra misalnya memacetkan lalin pada titik keramaian seperti di stasiun, terminal, tempat perbelanjaan, dsb. 

Mitra ojol pun membentuk pangkalan di banyak titik. Hal ini secara implisit menjadikan ojol adalah opang. Atau pun, ojol mulai membuat daerah-daerah 'kekuasaannya' sendiri yang berbeda dengan opang. 

Sebagai mitra ojol, aplikator berkuasa penuh atas 'garis hidup' pengemudinya. Konon jika ojol mendapat rating buruk dari konsumen, poin bonus bisa hangus seketika. Padahal mengumpulkan poin bukan main susahnya. Aplikator pun kini kabarnya bisa mendeteksi mitra yang malas dan rajin mengambil order.

Konsumen tak jarang juga merasa tidak aman dengan pengemudi ojol. Tak jarang keluhan atas pesanan atau kiriman yang rusak/hilang tidak bisa diadukan atau diganti. Begitupun dengan pengemudi ojol nakal yang menghubungi nomor konsumen untuk hal-hal aneh seperti PDKT.

Bird Scooter Terbengkalai di California - Foto: kqed.org
Bird Scooter Terbengkalai di California - Foto: kqed.org
Analogi ojol bubble mungkin serupa e-scooter dan e-bike bubble. Kedua Bubble ini telah meledak di beberapa kota di Amerika Serikat dan China. Isu peliknya regulasi lalulintas, perilaku berkendara, dan sisi maintenance dan pencurian e-scooter berakumulasi dari waktu ke waktu. Sehingga pada akhirnya penyedia aplikasi dan layanan ini ambruk.

Ledakan layanan dan aplikasi scooter di kota-kota di AS ada sejak beberapa tahun 2017. Perusahaan seperti Bird memperoleh suntikan dana sekitar USD 115 juta. Disusul LimeBike yang mendapat kucuran dana USD 113 juta. Lalu adapun Spin yang mendapat kucuran dana USD 8, hanya untuk kota San Francisco saja.

Bike-sharing startup seperti Mobike, Ofo, dan Gobee menyebar di puluhan kota di China. Mobike pernah mendapat kucuran dana sebesar USD 300 juta pada 2015. Sedang Ofo mendapat sekitar USD 130 juta di akhir 2015. Sedang Gobee dirangkul Tencent dengan kucuran dana USD 9 juta.

Namun, baik startup e-scooter dan e-bike mengalami kemunduran bertahap sejak 2017. Ribuan sampai jutaan scooter dan sepeda dockless yang tersebar di banyak kota di US dan China menimbulkan banyak masalah. Banyak pemerintah kota yang kini ketat mengatur sampai mendenda startup ini.

Layanan ojek online tidak terlepas dari manfaatnya untuk masyarakat. Secara finansial ojol memberikan rezeki bagi banyak pihak. Dari segi transportasi, ojol adalah alternatif moda kendaraan cepat dan murah pengganti motor atau mobil pribadi.

Namun, ekses negatif ojol sampai saat ini belum jua beres. Beres dalam hal ini memberikan solusi untuk tiap permasalahan. Tapi alih-alih, semua masalah diatas bertumpuk dan berkelindan satu sama lain. Membentuk sebuah gelembung yang rentan meletus di satu waktu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun