Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jurnalisme 4.0: Jurnalis Manusia vs Jurnalis Robot?

10 Februari 2019   00:00 Diperbarui: 11 Februari 2019   02:52 2303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Robo Journalism - Ilustrasi: financialtribune.com

Selain sebagai cara agar portal berita dikunjungi, cara ini pun memfasilitasi publik yang penasaran dengan sudut pandang/kekhasan sebuah portal berita.

Pekerjaan jurnalis tak hayal di luar ruang redaksi. Bisa jadi 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Sedang jurnalis pun bisa lelah. Jurnalis pun memiliki kehidupan pribadi dan keluarga. Mereka tidak bisa terus menerus mempublikasi berita yang terjadi.

Robot bisa menjadi alternatif. Namun tentunya hal ini menyulut perdebatan etis. Persis seperti pertanyaan imajiner yang saya tulis di atas. Singkatnya, robot tidak mungkin sesempurna manusia dalam hal apapun.

Computers - Foto: pixabay.com
Computers - Foto: pixabay.com
Jalan Tengah yang Cukup Berat

Jalan keluar dari masa depan jurnalisme yang suram ini cukup berat. Selain harus membekali jurnalis dengan skill teknis dan digital, jurnalis mau tak mau akan bekerja beradaptasi dan memonitor kerja jurnalistik para robot.

Robot akan menjadi tool bahkan co-worker dalam kerja jurnalis di masa depan. Dengan kata lain, publikasi berita akan tetap menjadi otorisasi manusia. Karena data di dunia maya begitu bias, diskriminatif, dan berbahaya. 

Dalam bukunya Weapon of Math Destruction, Cathy O'Neill mengungkap sebuah fakta: Data yang disajikan dan dikumpulkan AI bisa sangat subjektif dan berbahaya; algoritma yang sudah tercipta dipenuhi informasi berasal dari begitu banyak data dari beberapa sumber dan rentang waktu tertentu saja. 

Contohnya lingkungan kulit hitam di US akan lebih ketat diawasi oleh polisi, karena tingkat kejahatannya tinggi. Dengan kata lain, bisa jadi berita viral dari daerah kulit hitam di US lebih cepat viral, daripada berita dari ras berkulit putih atau yang lainnya. 

Di sini peran jurnalis sebagai penyeimbang dan pemvalidasi berita menjadi penting. Jangan-jangan berita bohong viral, hanya karena berita tertentu mencatut nama suatu daerah kulit hitam. Apalagi berita viral tadi dibubuhi sentimen rasisme berlebihan netizen.

Robot berbasis AI belum mampu, sampai saat ini, mengolah data dengan tidak berbasis gender, etnisitas, negara, dan bahasa. Keterbatasan inilah yang baik secara teknis dan berprinsip pada kode etik jurnalistik, harus mampu difahami dan dikembangkan para jurnalis.

Di masa depan jurnalis akan bekerja dengan beragam robot canggih. Seperti aplikasi robot canggih dan sensor sosmed untuk liputan bencana alam. Menggunakan social listening tool dan asisten digitalu ntuk berita update dan viral., bahkan menggunakan virtual reality untuk meliput di tempat yang jauh. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun