Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menarik Benang Merah Tragedi Justine Sacco dan Nelty Khairiyah

11 Oktober 2018   22:29 Diperbarui: 12 Oktober 2018   02:04 2610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hate Speech - ilustrasi: osvita.mediasapiens.ua

Pertama, dunia digital tak pernah diam dan tidur. Sacco menganggap tweet-nya kepada 117 followers tidak berpengaruh apapun nantinya. Pun guru Nelty mungkin juga tidak mengira siswa yang merekamnya saat berorasi membenci Jokowi bisa direspon kemarahan orangtua dan netizen. 

Sehingga, baik kejadian Sacco (2013) dan guru Nelty (2018) yang dipicu memantik kegaduhan via dunia maya. Mampu mendatangkan pulung personal di dunia nyata. Netizen memang selalu mencari sensasi agar linimasa tetap menarik.

Kedua, berfikirlah sebelum mem-posting sesuatu via sosmed. Karena terlalu terhanyut euforia dan guyon di dunia maya, kita kebablasan. Tweet rasis dari Sacco atau ceramah kebencian dari guru Nelty mungkin dianggap 'kenormalan' bagi mereka.

Sacco bisa jadi mengira travelling 11 jam penerbangan perlu canda dengan followers-nya. Namun tweet-nya malah menghancurkan hidup dan karirnya.

Guru Nelty pun mungkin mengira orasinya memuat nilai moral kepada siswanya. Tetapi ternyata tidak semua siswanya menggangap demikian.

Tweet Whoops - ilustrasi: clubrecepata.info
Tweet Whoops - ilustrasi: clubrecepata.info
Ketiga, hate speech bisa diproduksi oleh siapa saja. Baik sengaja atau tidak, ujaran kebencian bisa berasal dari siapapun. Baik itu orang dengan kedudukan tinggi seperti Sacco. Atau bahkan dari seorang pendidik seperti guru Nelty. Yang keduanya tentu memiliki pendidikan yang tidak mungkin rendah.

Ujaran kebencian berkonten SARA dan preferensi politik sudah lama memenuhi linimasa. Tweet rasis dari Sacco atau ujaran bermuatan politis ala guru Nelty mungkin satu dari jutaan posting sosmed bernuansa hate speech. Namun bukan pula hal ini menjadi alibi kita untuk melakukan hal serupa.

Keempat, hujatan publik lebih menyakitkan dari pidana. Public shaming mungkin menjadi konsekuensi sosial dari dua kasus diatas. Sacco sempat diindikasi depresi dan tidak keluar rumah selama satu tahun. Dan tagar trending tentang tweet-nya pun bukan satu hal yang patut dibanggakan.

Walau guru Nelty sudah membuat surat pernyataan maaf. Mungkin saja fikiran dan perasaan beliau akan tertekan akibat sorotan netizen dan media massa.

Netizen akan kepo soal jejak digitalnya. Portal berita online mungkin akan mengorek apapun itu dari orang terdekat guru Nelty.

Kelima, netiquette menjadi skill penting untuk kita saat ini. Kecapakan inilah yang tidak diajarkan di bangku sekolah. Netiquette atau internet etiquette adalah norma komunikasi sosial dalam dunia digital. Karena pada dasarnya, komunikasi via dunia maya pun memiliki tata cara dan tata krama.

Netiquette yang menjadi bagian literasi digital, mungkin tak pernah ditahui Sacco atau guru Nelty. Namun bukan berarti kita dan generasi masa depan tidak bisa mengambil pelajaran dari kasus yang terjadi. Dan baiknya, pemerintah kita sudah harus menggerakkan gerakan netiquette ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun