Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Memahami Lebih Dekat Si Tagar

11 September 2018   21:33 Diperbarui: 11 September 2018   21:49 712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hashtag - ilustrasi: oldtowncrier.com

Tagar (#) atau hashtag saat ini menjadi sebuah ikon kultur pop sosial media. Dengan tagar tatanan sosial bisa bersatu tetapi juga terbelah. Kadang menjadi bahan tertawaan dan rasa bangga. Namun juga lebih sering menjadi pola marketing viral sosial media.

Adalah Chris Messina yang pertama kali menggunakan tagar di tahun 2007. Via akun Twitter miliknya, ia menyematkan #sxsw. Sehingga dengan algoritma Twitter yang masih sederhana waktu itu tercipta ikatan sosial. Tagar dapat menyatukan banyak suara (tweet) sehingga terbentuk sebuah komunitas.

Twitter sempat ingin membuat fitur group discussion waktu dulu. Namun dengan disematkan tagar dalam tiap tweet dari banyak akun. Tercipta dinamika percakapan, interaksi, dan ikatan antar pengguna. Group discussion akhirnya tidak jadi dijadikan fitur pada Twitter.

Brian Solis, seorang digital analysit melihat tagar sebagai memicu A.R.T dalam sosial media. A.R.T atau Action, Reaction, Transaction menjadi kunci dinamika pengguna sosial media dengan media tagar.

Beberapa akun yang menggunakan tagar spesifik melakukan action. Untuk kemudian menciptakan reaction dari pengguna lain dengan tagar spesifik serupa. Sehingga, terjadi transaction dalam bentuk diskusi, problem-solving, agitasi sampai dengan demonstrasi.

Bagai sebuah fenomena bola salju yang meluncur. Tagar yang dipost akan menjadi besar dan jenuh. Dan kadang, muncul sebuah tindakan dunia nyata.

Masih fresh diingatan kita dengan saat sosmed penuh tagar #PrayForLombok. Tagar yang menjadi trending di Indonesia ini menggugah empati dan simpati kita pada korban bencana. Dengan tagar ini pun terbentuk komunitas yang peduli dengan menjadi relawan, memberi bantuan dana, atau melangitkan doa.

Namun di sisi lain, reaksi dan transaksi yang ada menciptkan sebuah gerakan masif dan terjaga momentumnya. Tagar #2019GantiPresiden kita ambil sebagai contoh. Sejak 2016 lalu, tagar ini seolah tiada surut dan kini menjadi aksi yang dianggap meresahkan bagi beberapa pihak.

Kedua tagar tentu memiliki perbedaan. Saat tagar #PrayForLombok bersifat sukarela, didasari rasa kemanusiaan, dan kepedulian. Tagar ini pun bersifat sementara saat tindakan nyata dilakukan baik oleh komunitas/pemerintah terkait.  

Sedang tagar #2019GantiPresiden berisi muatan politis, direfabrikasi sedemikian rupa, dan terus dijaga momentumnya. Tagar ini akan terus menjadi item yang di search baik pihak pro maupun kontra pada pemerintahan saat ini.

Hashtag Banner - ilustrasi: digiday.com
Hashtag Banner - ilustrasi: digiday.com
Beberapa fungsi tagar antara lain menjadi ungkapan euforia pada sebuah momen. Kita ambil contoh tagar #AsianGames2018. Fungsi lain adalah marketing suatu produk atau jasa. Biasanya akan menyebut nama produk dan dilakukan dengan ribuan akun yang disebut buzzer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun