Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Teknologi 4.0: Bukan Disrupsi, tapi Kalibrasi

7 September 2018   08:41 Diperbarui: 7 September 2018   09:43 730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artificial Intelligence - foto: pioneeringminds.com

Buat saya pribadi, kata disrupsi teknologi 4.0 yang sedang trending sekarang terasa hiperbolis. Kata disrupsi terasa fenomena yang akan mengganggu tatanan ekonomi, sosial dan budaya yang sudah ada. Padahal sejatinya, tatanan ini sedang mengkalibrasi pada ranah teknologi digital itu sendiri.

Mengkalibrasi sendiri bermakna menyesuaikan atau mem-fine tuning kondisi saat ini pada perubahan yang terjadi. Tidak ada makna yang terlalu dilebih-lebihkan. Bukan pula sebuah eufemisme dari kata disrupsi. Tapi memaknai teknologi dengan semesta manusia yang memang lahir, tumbuh dan berinteraksi dengan teknologi.

Mulai dari baby boomers sampai Millenials, kini tak merasa asing lagi dengan teknologi. Teknologi tidak menjadi beban, tetapi tantangan bahkan kebutuhan.

Saat orang di sekitar mereka sudah pandai dan tekun ber-sosmed. Seseorang, tua/muda, akan menjajal dan menjadi bagian masyarakat digital. Saat semua sisi kehidupan begitu lekat dan terikat pada dunia digital. Menjauh dari dunia ini kiranya mustahil.

Disinilah inti makna kalibrasi yang saya maksud. Teknologi digital menjadi sesuatu yang tidak sulit dipelajari. Seorang anak TK akan bisa mengoperasikan smartphone dalam beberapa hari saja. Teknologi digital secara interface tentu didesain untuk mempermudah penggunanya.

Saya ambil contoh di masa agraris, dimana teknologi pertanian menjadi andalan manusia waktu itu. Seorang anak TK mungkin tidak mudah mengangkat cangkul. Lalu si anak memfungsikannya sebagai alat penggembur lapisan tanah. Saya kira tidak mungkin.

Begitupun contoh pada era industri dimana produksi masal dan urbanisasi menjadi fenomena. Kembali, anak TK tidak mungkin menjalankan sebuah mesin pemintal di sebuah pabrik besar. Hanya orang dewasa yang mengerti manual dan bahaya yang mungkin timbul dari mengoperasikan mesin.

Sedang disrupsi akan tidak analogis dengan teknologi digital. Manusia dengan teknologi digital yang sudah puluhan tahun berjalan berdampingan akan terus beradaptasi.

Amazon yang lahir awal abad 20 menjadi lahan berniaga dan mencari kerja. Facebook kini pun sudah serupa lingkungan warga alternatif. Korespondensi bisnis/akademis via email, chat, dan teleconference bukan lagi hal baru. 

Aturan hukum baru dan disesuaikan ranah digital pun lahir. Berita bohong, ujaran kebencian, dan penipuan dunia digital diatur dalam perundangan. Tiap negara melakukan kekhasan sendiri pada hukum ranah digital. 

Pada sisi medis dan kesehatan, inovasi dan intervensi baru pada beragam penyakit dibuat. Begitupun masalah kesehatan dari dunia digital muncul dan sedang dicarikan solusinya. Bahkan profesi kesehatan pun di masa depan bisa didampingi oleh robot.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun