Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Terorisme di Negeri "Wkwkwk"

21 Mei 2018   13:05 Diperbarui: 22 Mei 2018   03:52 2132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
War on Twitter - ilustrasi: newstateman.com

Tanpa tidak mengurangi disposisi pentingnya isu terorisme di Indonesia. Artikel ingin mendekonstruksi perilaku sosial kita di dunia digital. Betapa masyarakat kita kebal terhadap tindak teror. Pada satu waktu kita tegap melawan. Sejenak lepas dari itu, kita kembali menertawai dunia. Bukankah sendi-sendi hidup ini adalah teror-teror inklandestin?

Paska rentetan teror menjelang Ramadahan, publik tersentak dari keriuhannya sendiri. Saat terjadi perang tagar, perang cuit netizen, hoaks dan klarifikasinya bersliweran di timeline. Ledakan bom dan serangan kepada aparat mensenyapkan kita. Fikiran kita dan timeline kita sepi sejanak. Tagar #KamiTidakTakut pun dikumandangkan via sosmed. Walau sejatinya kita tetap ciut nyalinya.

Lalu berapa lama tagar tadi menyedot perhatian kita? Bukan saja isu ini terus trending di sosmed. Tapi bagaimana isu ini menjadi perhatian di dalam kepala dan hati kita. Satu minggu? Tiga hari? Atau bahkan satu hari kemudian?

Di era dimana resonansi begitu lemah di hadapan tsunami konten, isu terorisme kadang lesap dengan cepat. Mereka yang tadinya getol sekali menulis tagar ganti Presiden. Di saat kejadian teror tagarnya bisa saja berubah. Namun jika sudah disesatkan faham konspirasi. Peristiwa teror pun dengan teledor dikaitkan dengan tagar ganti presiden. Hal ini karenan kebebalan partisan kita memang dibentuk cukup lama dan militan.

Waktu berlalu, dan kita pun kembali sibuk di dunia wkwkwk atau dunia maya. Sebuah dunia digital dimana euforia tanpa batas dilakukan setiap hari. Mulai dari nyinyir dengan anonimitas akun, sampai menyebar hoaks sesuai bias keyakinannya diperbuat. Era mindset post-truth pun menyumbang resiliansi kita terhadap fenomena pahitnya dunia nyata.

Maka tertawailah meme receh di akun seorang selebtwit. Atau cengar-cengir sendiri melihat video Tik-Tok tak berfaedah di FB. Kuntitlah IG story para selebritis dengan kehidupan hedon-nya. Kita pun sedikit banyak lupa betapa mencekamnya bom bunuh diri sebuah gereja di Surabaya minggu lalu. Atau pun, kita sudah menyangkal isu ini dan kembali getol menulis tagar ganti Presiden.

Teror halus sudah kita kecap sehari-hari di kehidupan nyata. Di jalan raya, kita selalu waspada pengendara yang urakan. Karena di jalan raya ada prinsip, senggol bacok. Jangan lupa selalu pasang mata saat mengantri masuk ATM. Siapa tahu ada anak yang berniat mencuri isi rekening. 

Belum lagi teror yang kadang kita biarkan merajai fikiran kita. Jangan lupa bayar cicilan motor. Telat dua bulan, bisa ditarik paksa di tengah jalan sama oknum mata elang. Lunasi KPR rumah, dan biarkan rekening hanya persinggahan gaji tiap bulan. Atau jadwalkan membayar SPP sekolah 3 anak kita. Kalau sampai lupa, mau raport mereka ditahan sekolah.

Tired Husband - ilustrasi: adrenalfatigue.co.nz
Tired Husband - ilustrasi: adrenalfatigue.co.nz
Teror psikis yang kita rasakan pun tidak kalah hebat. Tekanan gengsi di lingkungan tetangga secara halus menekan anggaran rumah tangga. Kapan garasi bisa diisi mobil, masa motor terus? Anak kita pun selayaknya memiliki apa yang dimiliki teman sekolahnya. Misalkan, tidak memiliki gadget anak kita akan di-bully. Di kantor kita lelah berpacu prestasi dengan teman kerja lulusan luar negri. Tak heran kita selalu tertunda promosinya.

Inilah stressor kehidupan yang kian menjadi teror. Jika mengacuhkan ini semua. Jangan harap hidup bermasyarakat mulus sesuai rerata kelas ekonomi menengah.

Dan kita pun berpaling pada dunia digital. Dunia yang mewadahi keluh kesah, ketakutan, kerahasiaan, dan segala rasa yang bisa kita ungkap. Dibalik QWERTY jemari kita berteriak, menangis, mencaci, meracau, bahkan tertawa lepas. Kungkungan teror kehidupan kita pun coba kita tertawai atau dilipur dengan wkwkwk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun