Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kenapa Kata "Pribumi" Begitu Tabu?

18 Oktober 2017   11:58 Diperbarui: 18 Oktober 2017   13:17 936
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Shhh - ilustrasi: pinterest.com

Jika bukan di kelas bidang Sejarah atau Kesusastraan, berucap kata 'pribumi' akan begitu sensitif. Bahkan mungkin bisa kita anggap tabu. Kata ini begitu jumud dengan makna yang silang sengkarut. Selain terkandung entitas historis dalam kata pribumi, ada sisi politis, segregasi identitas, bahkan kekerasan. Bahkan beberapa waktu lalu menempel stiker di aksi 313 dengan kata 'Pribumi' pun menyulut keprihatinan. (Artikel saya Stiker Pribumi Aksi 313 Mengorek Luka Tragedi 1998)

Dan entah mengapa Gubernur baru DKI malah silap lidah menggunakan kata pribumi. Entah beliau mengetahui ada Undang-Undang yang melarang mengemukakan kata pribumi ini atau tidak. Sepertinya, yang kita tangkap beliau ingin menyemangati warganya untuk berkarya mengisi kemerdekaan, khususnya di DKI Jakarta. 

Namun sayangnya, makna 'pribumi' yang kadung melekat dalam kepala kita begitu tabu. Sanggahan dan beberapa komentar petinggi negara ini melihat benar adanya maksud sejarah dari penggunaan kata tadi. Namun saat kita dengar dan cerna kata ini, akan menumbur dan membaur dengan apa yang kita anggap ora ilo atau pamalih dalam hati dan kepala kita.

Benar adanya kata pribumi memiliki muatan historis. Bahkan beliau Gubernur baru pun mengungkap beberapa diksi yang merujuk ke dalam konteks historis. Namun jika maknanya terkait etnografi penutur dan semiotika pendengar bahasa tersebut maka akan muncul deviasi. Ada penyimpangan makna yang kita fahami.

Pertama, penuturnya yang telah susah payah mencapai jabatan Gubernur DKI berkampanye dengan nuansa segresai identitas. Silahkan saja cari berita tentang kampanye Gubernur DKI yang penuh dengan nuansa anti asing dan aseng. Apalagi saat mantan Gubernur DKI yang dipidana pun silap lidah dan dihujam dengan dugaan penistaan agama. Maka yang dilihat bukan lagi makna mendalam salah ucapnya, tetapi siapa penuturnya.

Kedua, mindset para pembaca dan pemerhati isu politik tautan maknanya begitu luas, terutama menjelang Pilpres/Pilkada. Apa-apa yang dikira bisa menjatuhkan atau membuat pesaingnya menjadi pesakitan, maka isu ini dieksploitasi. Apalagi media mainstream yang juga kadang tidak berimbang pun memberitakannya. Menyulut sumbu panas setting politik pada kata 'pribumi' pun mengeksploitasi pertarungan opini. Korbannya pun banyak sudah, seperti dijerat pasal pencemaran nama baik Pasal 310/312 dan UUITE.

Ketiga adalah semiotika atau permainan tanda-petanda dalam kata 'pribumi' yang sudah jumud. Begitu terlihat/terdengar kata pribumi bagi saya, Anda atau siapapun yang mengalami tragedi 1998, kita akan memperhatikan secara detail. Apa maksud kata 'pribumi'? Jikalau terkait sejarah kelam Tragedi 1998, maka akan muncul kesedihan, keprihatinan dan keinginan menyudahi stereoptipe ini. Mungkin, inilah yang juga timbul dalam makna pada pidato Gubernur baru DKI Jakarta. Tinanda yang muncul serupa dalam ingatan kelam kita masa itu.

Terlepas dari konteks bidang sejarah dan stilistik, konteks pribumi di pidato tersebut bisa disebut tabu. Beragam makna, tanda-petanda dan tinanda berkecamuk dalam kepala kita. Mau tidak mau, suka tidak suka tapi inilah yang terjadi. Pembenaran atas konteks makna 'pribumi' silahkan saja diutarakan. Namun saat makna itu kita terima, terjadi deviasi. Makna pun menjadi liar dan kita sematkan beragam tanda untuk dapat dicerna. Maka, jika tidak ingin deviasi yang kecenderungannya menjadi tabu, usahlah mengucap kata ini, apalagi dalam konteks politik atau kepemimpinan.

Salam,

Wollongong, 18 Oktober 2017

03:58 pm

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun