Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Harga Naik Sebelum Puasa, Ah Biasa?

14 Mei 2016   12:06 Diperbarui: 14 Mei 2016   17:49 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: riaugreen.com

Harga gula mulai merangkak naik menjelang puasa. Diduga produsen makanan dan minuman membeli gula besar-besaran. Akibatnya, harga gula di pasaran naik. Atau adanya dugaan kartel gula yang sengaja menumpuk gula untuk dilepas sedikit demi sedikit pun beredar kabarnya. Permintaan banyak sedang persediaan terbatas, akan mendongkrak harga gula di pedagang. Jangan heran nanti harga sembako juga akan ikut naik. Konsumen hanya bisa ngelus dada. Harga naik sebelum puasa, ah biasa?

Belum harga bawang merah yang diam-diam mahal di pasar. Pedagang akan beralasan stok sedikit. Pengamat akan berkata faktor cuaca yang tidak menentu. Pemerintah akan segera membeli stok ke luar negri. Kadang bukan cuma bawang merah. Bawang putih, cabai, ayam sampai daging sapi adalah emas bagi para penimbun (baca: kartel). Konsumen hanya bisa nrimo. Harga naik sebelum puasa, ah biasa?

Dan entah kenapa kenaikan harga menjelang hari raya menjadi budaya. Saya bukan pengamat ekonomi atau ahli agribisnis. Saya hanya konsumen yang kadang heran. Jika alasan BBM naik karena distribusi yang jauh dan lama untuk komoditas tertentu. Maka jika BBM sekarang cenderung fluktuatif. Kenapa menjelang hari raya jarang komoditas pangan yang turun? Mengapa semuanya harus naik?

Dan mencoba mengurai hubungan ekonomi ini dengan faktor hari raya, maka akan semakin rumit. Semua memiliki dasar untuk menaikkan. Media dan otoritas terkait menduga ada kartel, penimbun, oknum aji mumpung, dll. Yang dari tahun ke tahun sepertinya tidak jelas. Dan faktanya, harga-harga barang dan komoditas tetap naik.

Saya mencoba meneropong dari sisi sosio-kultural fenomena ini. Harga naik menjelang puasa dan Lebaran khususnya, menjadi pemakluman. SIkap permisif masyarakat yang sepertinya menjadi puncak kebingungan masal (mass confusion). Karena mau tidak mau kita sebagai konsumen harus membeli. Ditambah, otoritas terkait dan pemerintah nampaknya tidak bisa berbuat banyak.

Dampaknya, kenaikan harga menjelang masa seperti puasa dan Lebaran menjadi 'budaya'. Pedagang ramai-ramai menaikkan harga. Dari pedagang daun pisang di pasar sampai pewaralaba minimarket, dengan santai menaikkan harga. Karena tahu pasti konsumen akan oke sajalah. Dalam mindset kita semua, kan mau puasa dan Lebaran. Kewajaran yang nampaknya menjadi kian mengakar dalam fikir kita.

Ilustrasi: faktinews.com
Ilustrasi: faktinews.com
Dari perspektif kita sebagai konsumen sendiri sebenarnya ikut memaklumi hal ini. Ada alasan-alasan yang mengkonfirmasi hal ini menjadi pemakluman. Pertama, pekerja akan mendapat THR. Karena akan mendapat bonus 1 kali gaji nanti menjelang Lebaran, naik harga gula 500 perak dianggap biasa. Kan masih ada uang nanti menjelang Lebaran. Beda nasibnya bagi mereka yang kerjanya srabutan atau bahkan tanpa pekerjaan. 

Wajarkah demikian? Sekali lagi, alasan mendapat THR adalah mass confusion. Andai THR itu bisa lebih banyak disisihkan untuk tabungan piknik akhir tahun. Atau biaya SPP sekolah atau asuransi anak. Bukankah lebih baik? Sekal lagi, penekanan budaya mewajarkan kenaikan harga akan benar-benar merubah mindset konsumen. Bisa jadi mindset ini sudah kita wariskan kepada anak kita yang baru paham berniaga?

Kedua, budaya royal. Ya, budaya bermewah dan bereuforia saat hari raya juga mendorong fenomena ini. Di hari raya secara terselubung, setiap kita harus tampil 'kaya dan wah'. Semua dianggap punya uang dan harta berlebih. Bahkan jauh sebelum Lebaran, hidup royal harus ditampakkan.

Lihat saja saat keluarga berbuka puasa. Bahan makanan atau makanan yang dibeli akan lebih mahal dari hari sebelum berpuasa. Media pun mendukung budaya royal ini dengan pesan konsumerisme. Iklan pangan dan sandang akan berseliweran menggiurkan mata dan pikiran. Konsumen dituntut tampil kaya karena hari raya. 

Maka, mempertanyakan kenaikan harga akan percuma. Atau secara sosial akan dianggap pribadi yang miskin dan tidak banyak harta menjelang hari raya. Protes-protes kecil kenaikan harga di hadapan tukang sayur dan di pasar hanya celotehan basa-basi ibu-ibu. Gengsilah tidak mampu beli daging sapi untuk rendang Hari Lebaran nanti.

Lalu bagaimana menyikapi kenaikan harga menjelang hari raya? Nampaknya saya pun akan terserang mass confusion. Haruskah mindset harga naik ini diwariskan ke anak-anak kita nantinya? Haruskah pemakluman kenaikan harga selalu dirasionalisasi kata pengamat dan operasi pasar pemerintah? Nampaknya, harapan pada pemerintahan baru belum terasa sampai dapur rumah kita.

Salam,

Solo, 14 Mei 2016

12:06 pm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun