Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Menelisik Tren "Kopas dari Tetangga Sebelah"

15 April 2015   22:39 Diperbarui: 27 Mei 2019   15:09 664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Speak - Ilustrasi: clipsart.co

Ya, kadang info yang disajikan cukup menarik tapi interaksi berasa hampa. Hanya ada notifikasi jempol atau komentar terima kasih. Karena embel-embel besar 'kopas dari tetangga sebelah' ini yang kadang membuat hampa interaksi. 

Karena mungkin anggota grup berfikiran, info atau ide ini sudah dibaca orang banyak. Sudah dilegitimasi dan 'diiyakan' banyak sekali grup. Sehingga, menyanggah atau mengoreksi info minim ditemui. 

Anggota grup pun, saya yakin, sudah pernah baca atau malah malas membaca info yang di-kopas ke dalam grup. Karena sudah saking seringnya dan hanya kopas, interaksi pun ala kadarnya. 

Speak - Ilustrasi: clipartbest.com
Speak - Ilustrasi: clipartbest.com
Mungkin berbeda adanya, interaksi dalam grup yang lebih terfokus interest-nya. Baik minat untuk dagang, sharing hobby, mainan, fashion, tekno, dll, grup ini saya fikir lebih hidup. 

Karena anggotanya memiliki 'homogenitas' interest, interaksi bisa saja lebih intens. Dan info yang dibagikan pun pastinya tidak jauh dari hal-hal interest-nya. Sehingga, corak dari grup dan anggotanya bisa kentara. Anggota grup bisa berkontribusi dan berbagi dalam satu fokus yang signifikan. 

Di grup yang lebih 'heterogen', biasanya satu grup pun hanya berisi beberapa orang saja yang berinteraksi. Seolah, dari puluhan atau ratusan anggota, hanya 5-10 orang saja yang aktif. Itupun interaksi mereka bisa ditebak. Setelah memberi terima kasih atau jempol, lalu men-share info 'kopas' lainnya. 

Anggota lain hanya silent readers saja atau kadang cukup angguk-angguk membaca satu info atau ide. Bukan karena anggota lain tidak mau chat. Namun kadang karena embel-embel kopas ini yang membuat ide atau info begitu valid. 

Sehingga, interaksi cukup mengangguk-angguk saja. Karena luasnya dunia sosmed dengan grup yang mungkin jumlahnya ribuan atau jutaan dalam WA/BBM/Line, info pun bisa tidak pasti kebenarannya alias hoaks. 

Yang memvalidkan, secara implisit, adalah embel-embel 'kopas dari tetangga sebelah'. Lalu siapakah tetangga sebelah ini? Saya pribadi belum pernah mencoba bertanya siapa 'tetangga sebelah' ini. 

Karena mungkin, pertanyaan ini akan berputar-putar dari grup ke grup. Karena frekuensi dan intensitas satu info yang di-kopas bersifat infinit, alias tidak terbatas. Mencari 'narsum' info atau ide yang di-share pun agak sulit. 

Pernah sesekali saya search nama narsum dari sebuah info di Google. Hasilnya tentunya jutaan dalam sekian detik. Namun secara spesifik menyoal info yang di-share sama sekali tidak relevan atau tidak ada. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun