Mohon tunggu...
Giovani Yudha
Giovani Yudha Mohon Tunggu... Freelancer - Gio

Sarjana HI yang berusaha untuk tidak jadi Bundaran

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Banyak Cara Perempuan Dobrak Sistem Patriarki

4 Maret 2021   14:35 Diperbarui: 4 Maret 2021   14:41 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sampai kapan perempuan mengalami bias gender? Jawabannya sampai perempuan sadar untuk bergerak.

Untuk belajar pergerakan perempuan, saya pakai tugas kuliah waktu semester awal untuk menjelaskannya. Lokasi belajarnya ini jauh dari Indonesia, maklum saya adalah mahasiswa Hubungan Internasional yang wajib, kudu, dan harus mempelajari masyarakat negara lain juga.

Ini adalah cerita pergerakan perempuan dari negara Rwanda dan Cile

Belajar dari Perempuan Rwanda

Tak disangka-sangka, untuk belajar tentang pergerakan perempuan, kita harus terbang jauh ke negara Rwanda yang sebagian besar ngga tau letaknya dimana, justru menjadi teladan sekaligus contoh kalau perempuan tidak bisa dianggap remeh oleh laki-laki dan menunjukkan kalau perempuan itu mampu mengubah pain into power. Kalau kalian tau, Rwanda sempat mengalami peristiwa pembunuhan massal atau disebut genosida yang disebabkan oleh konflik antar suku antara suku Hutu dan Tutsi, lebih dari 800.000 orang di bunuh dalam 100 hari. 

Salah satu korban genosida masa itu adalah Perdana Menteri Agathe Uwilingiyimana, perempuan ini sering digambarkan dalam literatur ekstremis dan kartun politik sebagai ancaman bagi bangsa. Perempuan ini dibunuh bersama dengan suaminya dan pasukan penjaga perdamaian Belgia yang ditugaskan untuk menjaga keamanannya. 

Seorang antropolog Christopher Taylor, mengatakan bahwa Agathe adalah seorang Hutu yang moderat dan kematiannya berutang banyak pada fakta bahwa ia seorang perempuan, dan merupakan seseorang yang sangat pandai bicara, vokal, serta merupakan anggota terkemuka dari oposisi demokratik (Powley, 2004).

Perempuan-perempuan yang selamat dari genosida tidak berarti hidup mereka auto damai. 

Mereka mengalami pemerkosaan, penyiksaan sistematis, menyaksikan kekejaman yang luar biasa dan kehilangan properti serta mata pencaharian. Selain mengalami kekerasan yang tak terhingga, perempuan-perempuan ini harus hidup di pengungsian, dimana mereka terpisah dengan keluarga, ketidakamanan pangan, yang membuat  trauma psikologis pasca-konflik. Struktur sosial mereka dihancurkan, hubungan dan jaringan tradisional mereka terputus dan mereka ditinggalkan untuk menjadi kepala rumah tangga dan komunitas mereka yang ditinggalkan (ibid). 

Pasca genosida, perempuan-perempuan Rwanda mulai membangun kembali negaranya dari awal. 

Mereka terpaksa harus menguburkan orang mati, mencarikan rumah untuk hampir 500.000 anak yatim dan membangun tempat penampungan. Rwanda mendapat dukungan awal organisasi-organisasi internasional untuk menyokong segala kebutuhan perempuan-perempuan Rwanda dalam upaya rekonstruksi yang mereka lakukan. Perempuan Rwanda tidak hanya memainkan peran penting dalam rekonstruksi fisik, tetapi mereka juga memiliki tugas yang lebih penting yaitu untuk penyembuhan sosial, rekonsiliasi dan membenahi pemerintahan. 

Perempuan Rwanda punya proporsi besar dalam pemerintahan - Sumber: Allafrica.com
Perempuan Rwanda punya proporsi besar dalam pemerintahan - Sumber: Allafrica.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun