Mohon tunggu...
Giovani Yudha
Giovani Yudha Mohon Tunggu... Freelancer - Gio

Sarjana HI yang berusaha untuk tidak jadi Bundaran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perempuan Bukan Objek dalam Ruang Publik dan Privat

24 Februari 2021   17:04 Diperbarui: 24 Februari 2021   17:05 683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Redbubble.com

Menurut UNESCO, ruang publik merupakan area atau tempat yang terbuka dan dapat diakses oleh semua, tanpa memandang gender, ras, etnis, usia, atau kelas sosial ekonomi. Definisi itu menyatakan bahwa ruang publik terbuka untuk semua, tanpa terkecuali, tanpa adanya diskriminasi, dan tentu tanpa adanya kekerasan terhadap salah satu pihak.

Namun, pada kenyataannya tidak demikian, menurut UN Women, di seluruh dunia, perempuan menghadapi kekerasan seksual atau berbagai bentuk kekerasan lainnya di ruang publik, sebagai hasilnya, banyak perempuan merasa takut, sehingga kebebasannya secara langsung atau tidak langsung dibatasi aktivitasnya pada ruang publik.

Selain hal yang terjadi pada ruang publik, kebebasan perempuan juga dibatasi oleh adanya stereotip-stereotip yang sengaja atau tidak sengaja dihasilkan dan sifatnya komunal, seperti perempuan (seharusnya) itu lemah lembut, selalu bergantung pada orang lain, takut menghadapi sesuatu, fisiknya rentan, dan emosi sering tidak terkontrol dengan baik, sementara gender maskulin atau laki-laki (seharusnya) identik dengan independen, asertif, mempunyai keberanian, tangguh, dan jiwa ksatria. Hal tersebut akan berdampak pada level masyarakat dan ruang publik, dimana bias gender semakin kuat, perempuan sering akan mendapat perlakuan diskriminasi dan sistem patriarki semakin kuat pada berbagai aspek.

Penyebab perempuan masih dinomorduakan selanjutnya adalah karena budaya dan agama yang sudah turun temurun diterapkan. Kaitannya terhadap agama, terdapat dua tipe pandangan yaitu non-religious women dan religious feminists.

a. Pandangannon-religious womenmenganggap semua agama berbahaya bagi hak-hak perempuan melalui praktik-praktik sosial yang mengatasnamakan agama atau keyakinan, seperti kewajiban atau keharusan dalam agama untuk menggunakan hijab, penerapan poligami, pernikahan paksa, menolak perempuan sebagai pemimpin ibadah, dan female genital mutilation, serta anggapan bahwa mitos-mitos dalam agama cenderung menempatkan wanita sebagai objek dan tidak setara.

b. Pandangan religious feminists menganggap bahwa agama atau keyakinan dapat digunakan untuk melegitimasi ketidaksetaraan gender dan diskriminasi perempuan.

Penyebab-penyebab yang dipaparkan sebelumnya membuat perempuan menjadi lack of power. Penulis menggunakan konsep power dari Michael Foucault yang menyatakan bahwa power atau power resources bisa terlihat atau diperoleh dari interaksi yang melalui seksualitas, tubuh, keluarga, keturunan, pengetahuan, teknologi, dan sebagai, sehingga menurutnya hal tersebut dapat terlihat dan diperoleh dari ruang privat dan ruang publik.

Dari definisi tersebut, apabila dikaitkan terhadap kasus perempuan, bahwa gangguan atau masalah terhadap perempuan dalam ruang privat maupun publik, membuat perempuan sulit mendapatkan power resources untuk berani memperjuangkan apa yang menjadi harapan atau keinginan atau hak mereka. Lack of power resources yang dialami perempuan, membuat kasus yang menimpa perempuan seringkali diabaikan pada level pemerintahan dan dianggap tidak lebih penting dibandingkan isu-isu lainnya.

Maka dari itu, terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan oleh perempuan untuk mendapatkan power resources dan kedepannya perempuan dihormati keberadaannya, antara lain:

a. Menempuh pendidikan formal atau non-formal, karena melalui pendidikan, perempuan akan memperoleh kompetensi, ilmu pengetahuan, menguasai informasi, berpartisipasi dalam pemerintahan, dan kapasitas organisasi yang nantinya digunakan untuk bersaing dengan gender maskulin dan menghilangkan atau mengurangi stereotip-stereotip yang bertentangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun