Mohon tunggu...
Gina Safia Sekaraissa
Gina Safia Sekaraissa Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Absen 15 XI MIPA 4 SMAN 28 Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengenal Fenomena Cancel Culture

25 Agustus 2020   23:37 Diperbarui: 26 Agustus 2020   00:00 1283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.wsj.com/articles/cancel-culture-comes-to-science-11578867753 

Saat sedang memainkan sosial media, tak jarang kita temukan berita-berita mengenai selebriti atau tokoh terkenal yang memberikan klarifikasi atas aksinya. Ketika kita membaca artikel mengenai klarifikasi tersebut, biasanya topik yang dibahas tak jauh dari aksi kontroversial para selebriti yang dihakimi secara daring oleh warga internet. Bahkan untuk beberapa masalah yang lebih besar dan berkaitan dengan sebuah organisasi atau perusahaan, dapat melibatkan pemboikotan secara massal.

Fenomena yang tak asing lagi terdengar ini disebut cancel culture.

Cancel culture atau dapat disebut juga call-out culture adalah suatu budaya dimana seseorang diboikot oleh banyak orang dengan tujuan agar ia menghentikan aksinya yang dianggap tidak pantas untuk dilakukan. Menurut wikipedia, fenomena ini termasuk dalam kategori online shaming.

Biasanya fenomena bermula dari tokoh terkenal yang memperlihatkan aksinya pada publik. Namun aksi tersebut dianggap tidak baik atau tidak pantas untuk dilakukan. Karena publik ingin menuntut agar pengaruh sang tokoh hilang dari sosial media, akhirnya dibuatlah petisi yang mengajak orang-orang lainnya untuk melakukan 'pembatalan' terhadap tokoh tersebut. Ketika pemboikotan tercapai, kebanyakan tokoh akan mengklarifikasi sekaligus meminta maaf pada publik atas aksinya.

Saat ini, cancel culture sedang menjadi hal yang kontroversial di tengah masyarakat.

Sebagian mendukung budaya ini, karena berbagai alasan. Salah satu dampak positif budaya ini adalah tersampaikannya pendapat mengenai suatu permasalahan, dan tingginya peluang akan terjadinya perubahan nyata.

Tetapi, banyak juga yang resah akan dampak negatif yang ditimbulkan. Salah satunya, tokoh yang menjadi korban cancel culture dapat mengalami gangguan mental akibat tekanan sosial dari masyarakat. Hal ini karena dibanding kritik yang membangun, cancel culture lebih banyak berisi tentang hinaan dan tuduhan yang belum tentu benar adanya.

https://www.nytimes.com/2019/10/31/style/cancel-culture.html 
https://www.nytimes.com/2019/10/31/style/cancel-culture.html 

Fenomena cancel culture memang terkesan sebagai budaya yang mengedepankan keadilan. Akan tetapi, sebagai pengguna media sosial yang bijak, kita wajib mempertimbangkan kembali tren ini. Tujuan utama dalam memboikot suatu aksi, komplikasi yang akan timbul atas petisi tersebut, serta cara lain yang lebih baik untuk menegur tokoh adalah contoh dari hal-hal yang harus kita pikirkan sebelum mengikuti budaya cancel culture.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun