Mohon tunggu...
Gina Malsah Paolina
Gina Malsah Paolina Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - mahasiswi PPKn Universitas Pamulang

tidak ada yang sia-sia dari perjuangan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Anomali Demokrasi Pancasila Dalam Pemilu Era Reformasi

19 Juni 2021   21:40 Diperbarui: 23 Juni 2021   13:47 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

           Democracy is the govermen from the people , by the people and for the people. Demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Rasanya istilah tersebut sudah tidak ading lagi dalam konsep tata negara dan juga bagi masyarakat pada umumnya. Makna dari istilah tersebut menempatkan rakyat secara filosofis sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan, karena dalam sistem demokrasi rakyat melimpahkan wewenang kekuasaannya kepada wakil-wakil mereka yang terpillih untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan. Wakil-wakil yang terpilih tersebut lahir dari sebuah konsep yang disebut dengan pemilihan umum (PEMILU).

        Dalam demokrasi ada sebuah adagium yang berbunyi " vox populli vox dai" yang artinya suara rakyat adalah suara Tuhan. Dengan kata lain dalam sistem demokrasi suara mayoritas adalah sebagai pemenang dan dianggap sebagai suatu kebenaran. Mungkin atas dasar itulah kiranya dapat dijelaskan serta dipahami kalau rakyat disebut sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam konsep pemerintahan. Sugguhpun demikian, walaaupun sistem demokrasi adalah sistem pemerintahan yang paling banyak digunakan dan sangat populer di dunia saat ini, akan tetapi penerapannya tidaklah sama antara satu negara dengan negara lainnya. Hal tersebut disebabkan oleh bermacam faktor, diantaranya dadalah faktor budaya, identitas dan jati diri suatu bangsa.

        Era reformasi adalah sebuah fase yang bersejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia. Reformasi  yang bergulir pada 1998 merupakan salah satu tonggak sejarah penting dalam perubahan sistem ketatanegaraan Indonesia. Setidaknya telah terjadi amandemen terhadap UUD 1945 sebanyak 4 kali yakni dari tahun 1999 - 2002. Salah satunya adalah dalam hal pemilu , dimana pemilu untuk pemilihan Presiden, Kepala daerah dan Walikota semuanya dilaksanakan secara langsung atau dipilih langsung oleh rakyat. Kenyataan demokrasi seperti ini sama persis dengan pelaksanaan demokrasi ala negara barat, padahal Indonesia menganut sistem demokrasi Pancasila yang mana landasannya adalah dasar negara Pancasila khususnya sila ke-4 yang berbunyi " Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan".

       Jika dipahami dengan logika dan hati nurani yang sehat, maka sesungguhnya baik masa orde lama maupun orde baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto adalah masa dimana Pemilu dilaksanakan berdasarkan demokrasi Pancasila. Pada masa itu, Presiden dan wakil presiden dipilih dan diangkat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dimana MPR tersebut adalah lembaga tertinggi negara. Sementara itu, untuk pemilihan kepala daerah seperti Gubernur, Bupati,Walikota ditunjuk langsung oleh Presiden berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu dan penilaian yang spesifik.  Secara prinsip cara ini sebenarnya sangatlah sesuai dengan semangat dan nilai-nilai demokrasi Pancasila khususnya  nilai-nilai sila ke-4 dari dasar negara Pancasila.

       Berbeda halnya dengan sistem pemilu sekarang ini di era reformasi yang menurut pemilu tidak menerapkan sama sekali nilai-nilai sila ke-4 dari Pancasila. Untuk mendapatkan kekuasaan orang yang ingin menjadi pemimpin harus mencalonkan diri terlebih dahulu dalam partai masing-masing untuk selanjutnya bertarung dengan calon lainnya dari partai yang berbeda. Dalam sistem ini semua orang bisa menjadi pemimpin walaupun sebenarnya orang tersebut secara kapaitas tidak layak menjad pemimpin, yang penting disokong oleh uang dan polpularitas. Akibatnya setiap orang akan menghalalkan segala cara untuk memenangkan pertarungan dan mendapatkan kekuasaan tersebut. Padahal katanya Pancasila selalu didengung-dengungkan sebagai cerminan dan nilai-nilai luhur , identitas dan jati diri bangsa Indonesia yang sangat khas dan unik yang tidak dimiliki oleh negara manapun, tetapi kenapa pemilu sekarang harus dengan sistem langsung ? Bukankah itu sama artinya dengan menginjak-injak dasar negara , identitas dan jati diri ? Sesungguhnya jika kita kaji dan buat perbandingan secara prinsip, dalam sistem Pemilu langsung negara harus mengeluarkan begitu besar anggaran untuk melaksanakan pemilu yang mana sejatinya anggaran tersebut lebih bermanfaat untuk program-program kesejahteraan rakyat. 

      Kemudian lagi dalam sistem langsung gesekan horizontal di akar rumput tidak dapat terelakkan lagi, dimana rakyat cenderung menjadi terbelah dan hal tersebut membuat kehangatan kehidupan bermasyarakat , berbangsa dan bernegara tidakklah utuh lagi. Hal tersebut diperparah lagi dengan praktik politik uang dan politik transaksional yang mana kondisi semacam itu tidak ada sama sekali di zaman orde baru.

      Terkait dengan pelaksanaan demokrasi Pancasila , disini penulis melihat perbedaan yang sangat prinsip dan mendasar dari sistem Pemilu pada masa Orde Baru dan Era Reformasi dalam hal cara mendapatkan kekuasaan. Berdasarkan penjelasan yang telah penulis paparkan diatas dan mewakili pendapatnya Profesor Anwar Arifin, dapat disimpulkan bahwa dimasa Orde Baru ada nilai-nilai yakni " kekuasaan mencari orang" , sedangkan di masa Era Reformasi adalah sebaliknya yakni, " orang mencari kekuasaan". Dari kedua nilai-nilai demokrasi ini penulis melihat nilai-nilai ," kekuasaan mencari orang " sangat sesuai dengan perwujudan sila ke-4 dari Pancasila, sedang untuk nilai-nilai " orang mencari kekuasaan"  sama sekali tidak mencerminkan perwujudan sila ke-4dari Pancasila.

       Terlepas dari fakta bahwa Orde Baru dianggap otoriter dan dianggap tidak demokratis oleh banyak pengamat dan ahli tata negara dan berbagai alasan lainnya, tapi penulis berebda pendapat dan tidak sepenuhnya sepakat dengan hal tersebut. Bagi penulis kenyataan otoriternya Presiden Soeharto dan pemahaman tentang hakikat demokrasi Pancasila itu sendiri adalah dua hal yang berbeda dan masih bida diperdebatkan secara akademik. Menurut penulis bukan sistem demokrasi Pancasila-nya yang otoriter dan bukan pula nilai-nilai "kekuasaan mencari orang " yang tidak bagus, akan tetapi hal tersebut sesungguhnya hanyalah masalah teknis semata dari penerapannya. Artinya jikapun ada kelemahan -kelemahan dalam pelaksanaan demokrasi Pancasila khsusunya dalam sistem PEMILU di waktu dulu, maka seharusnya yang diperbaiki adalah kelemahan-kelemahan tersebut dengan segenap sistem perangkatnya. Bagaimana caranya nilai-nilai Pancasila khususnya sila ke-4 tersebut tidak menimbulkan otoriter seperti dulu lagi, bukannya malah mengubah secara hakikat dari nilai-nilai Pancasila yang telah menjadi jati diri dan identitas Bangsa Indonesia. 

Penulis,

Eva Susanti 

( Mahasiswi Universitas Pamulang )

Editor,

Gina Malsah Paolina

( Mahasiswi Universitas Pamulang)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun