"Divisi lalu lintas sudah menyimpulkan bahwa ini adalah kecelakaan yang disengaja. Mungkin sebentar lagi akan jadi tugas kita untuk menyelidikinya."
"Oke, lanjutkan," kataku.
"Pak Krisna baru servis mobil seminggu lalu. Pihak bengkel menjamin bahwa rusaknya rem bukan kesalahan mereka. Saya rasa ada dendam pribadi dari seseorang yang sengaja melakukan ini."
Kali ini giliran Adri yang mewakilkanku untuk menyampaikan informasi yang kami dapatkan kemarin. Laki-laki itu melingkari foto Marisa yang sebelumnya sudah tertempel di papan kaca dinding.
"Pak Krisna mengasuransikan jiwanya dengan nominal yang cukup besar. Dan tebak siapa penerimanya?" tanya Adri yang kemudian mengetukkan spidol di foto Marisa. "Ya, betul. Istrinya sendiri."
"Itulah kenapa saya bilang kasus ini mencurigakan," kataku memotong, kemudian berdiri di samping Adri. "Bagaimana jika ini semua hanya jebakan dan sebenarnya sudah diatur oleh istri Krisna sendiri?
Tidak ada yang menjawab. Semua hanya saling pandang satu sama lain memikirkan bukti apalagi yang bisa menguatkan dugaan ini.
"Pak Radit," kata Ara mengangkat tangan. "Sejak kemarin ada yang menganggu pikiran saya. Apa benar Pak Krisna berusia 38 tahun? Dari pengintaian yang kita lakukan selama seminggu itu, saya rasa wajahnya terlalu muda. Bahkan aku menduga usianya lebih muda dari istrinya."
Aku mengambil foto Krisna yang tertempel di papan kaca, memeriksa kembali detail wajah orang ini. Benar kata Ara bahwa wajahnya seperti tak mencerminkan usia 38 tahun. Bagaimana bisa aku melewatkan hal sekecil ini?
Tunggu sebentar. Jangan-jangan selama ini aku salah menduga.
"Saya akan mendatangi tempat kerja Krisna. Jeremi, kali ini kamu yang ikut saya," kataku bersiap-siap sambil mengenakan jaket.