"Gue nggak perlu tahu soal kisah Ibu---"
"Dan saat itu Ibu mengenal Ayah." Aku langsung memotong pembicaraan, melanjutkan cerita tanpa menatap matanya. "Ayah mengaku masih bujangan sampai akhirnya mereka berdua punya hubungan khusus. Tapi, Ibu tahu bahwa ternyata Ayah sudah memiliki istri, bahkan seorang anak, yaitu Bang Gian."
Selanjutnya, aku menceritakan kisah yang dulu pernah diceritakan Ibu. Tentang Ayah yang memaksa agar bersedia menikahi Ibu meskipun sebenarnya Ibu menolak dengan keras. Tapi usaha Ayah begitu tangguh sampai akhirnya Ibu luluh. Mungkin, pada satu titik Ibu memang bersalah karena menyetujui lamaran itu.
"Seenggaknya mereka menikah dengan persetujuan kedua keluarga masing-masing, termasuk Tante Yulia, Ibunya Bang Gian, kataku melanjutkan."
Aku yakin Gian sebenarnya tahu soal ini. Tapi ia selalu mencari kesalahan untuk mengambinghitamkan aku dan Ibu.
"Semua kemewahan ini pun dari jeri payah Ibu. Perjanjian mereka dulu adalah Ayah harus memprioritaskan keluarga Bang Gian, bukan saya. Soal warisan juga, belum pernah saya pakai sama sekali karena semua tersimpan aman di Bank. Tapi bagaimanapun, itu hak saya dan Ibu yang nggak bisa seorang pun merampasnya, terutama Bang Gian."
Hening. Tidak ada kata-kata lagi yang keluar dari mulutnya.
Saat aku menatap Gian dengan tajam, laki-laki itu justru membuang muka dan kesulitan untuk bicara.
"Gu-gue balik dulu, ya."
Gian melangkah ke arah pintu. Sebelum dia membukanya, aku memanggil pelan.
"Bang Gian," kataku. Dia berbalik menghadapku.
"Mampir ke chanel YouTube saya sekali-kali. Dari sanalah saya bisa dapat sedikit uang meski hanya dengan traveling."
Gian tidak menjawab. Dia membuka pintu, lalu menutupnya kembali dengan perlahan.
Bukan Orang Ketiga - Selesai