Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Bukan Orang Ketiga

16 Juni 2020   08:49 Diperbarui: 28 Juni 2020   17:23 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pemakaman | Photo by Rhodi Lopez on Unsplash (unsplash.com/@20164rhodi)

Di usia yang keenam belas, aku paham dengan semua ini. Tentang sikap keluarga Ayah yang begitu membenci kami, juga tentang status Ibu yang harus jadi istri kedua.

***
"Kenapa sih Abang kalau lagi marah selalu bahasannya ke sana terus?" tanyaku masih meredam amarah. "Ibu bukan orang ketiga. Sejak awal, dia nggak tahu kalau Ayah punya istri."

"Halah, alasan aja terus! Sekali pelakor ya pelakor!"

Kami berdiri saling menatap mata masing-masing. Ada amarah yang belum reda dari tatapan Gian. Sementara itu aku berusaha mengentrol emosi agar tidak terpancing lebih jauh. Aku tahu bahwa dia tidak pernah bisa berdamai dengan keadaan, termasuk soal aku dan Ibu. Tidak seperti adiknya yang mulai berubah lebih baik pada kami sejak kepergian Ayah.

Jika aku masih seorang remaja usia belasan seperti tahun-tahun sebelumnya, mungkin aku akan menangis. Contohnya adalah ketika Tante Yulia melabrak rumah kami karena saat itu Ayah sedang di sini. Sebenarnya itu hanya kesalahpahaman kecil karena Ayah tidak bilang dulu akan mampir ke rumah, tapi keluarga mereka membuatnya penuh drama hingga beberapa tetangga datang melihat apa yang terjadi.

Saat itu aku yang akan lulus SMA langsung beranjak ke lantai dua karena tidak kuat menahan tangis. Di kamar, aku menumpahkan segalanya meski seorang diri. Dan dari sana aku sadar bahwa aku tidak memerlukan sosok Ayah. Aku bisa hidup dengan kedua kakiku sendiri, begitu pula Ibu.

 "Sejak lo dan Ibu lo itu masuk ke kehidupan gue, keluarga kita berantakan, Nay!" sekali lagi aku mendengar nada tinggi yang keluar dari mulut Gian.

Aku menarik napas dan mengembuskannya pelan, belum berani berkomentar.

"Lo dapet semua kemewahan ini karena siapa? Karena Ayah, kan? Karena warisannya! Sementara itu ekonomi gue dan keluarga jauh dari kata layak."

Aku merasakan mataku semakin perih karena menahan air mata. Bukan karena tersakiti oleh kata-katanya. Jujur, aku sudah terbiasa dengan ini. Tapi aku tidak kuat untuk melawan, apalagi nama Ibu sering disalahkan atas semua kejadian ini.

"Ibu saya adalah orang berpendidikan, Bang," kataku pelan setelah Gian berhenti bicara. "Dia menyelesaikan studi S2-nya sebelum memasuki usia 25. Nggak lama setelah itu Ibu jadi dosen. Ya, bahkan sampai sekarang."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun