"Iya, siap," jawab Vidya santai.
Dari kejauhan, Vidya melihat badan tegap laki-laki berkemeja biru langit itu mengangkat telepon dari kekasihnya. Awalnya, raut wajah Radean masih sama dengan senyum khasnya yang tak hilang. Tapi berselang beberapa saat, ekspresi itu berubah seketika. Telepon ditutup. Radean kembali duduk di tempat semula.
"What's wrong?"
"Harusnya malam ini Lona pulang ke Jakarta, sekalian nanti malam kita mau dinner. Udah booking tempat juga. Tapi ternyata kerjaan dia masih belum selesai di Semarang. Acara kita batal. Kamu pasti tahu kalau ini bukan pertama kalinya."
"But you still love her," jawab Vidya singkat.
"Obviously."
***
Malam itu sebulan setelah hari ulang tahun Radean, Vidya dikejutkan dengan kehadiran laki-laki itu di apartemennya tengah malam. Sebelum membuka pintu, ia tahu bahwa jarum jam sudah melebihi angka 12. Ada yang tidak beres.
Mata Radean sedikit bengkak. Mukanya pucat seperti sedang sakit.
"Kamu nggak mungkin datang selarut ini kalau nggak ada masalah. Ayo masuk."
Kedua orang itu masuk dan memposisikan diri masing-masing di kursi. Vidya duduk tepat di samping Radean. Ia melihat kesedihan mendalam pada tatapan itu.