Mohon tunggu...
M. Gilang Riyadi
M. Gilang Riyadi Mohon Tunggu... Penulis - Author

Movie review and fiction specialist | '95 | contact: gilangriy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Probabilitas Patah Hati

23 Maret 2017   16:27 Diperbarui: 24 Maret 2017   05:00 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
image from http://dailydater.com/a-manly-guide-to-healing-a-broken-heart/

Oh, hanya jadi korban perselingkuhan ternyata. Ini memang pertama kalinya, tapi aku sudah menduga jauh sebelum fakta ini terbongkar. Dia, sebutlah dengan inisial AD, gagal menyimpan kebohongannya untuk jangka waktu yang lebih lama. Aku memang marah, tapi lebih merasa bodoh.

Untuk masalah sakit hati, biarkan ia bangkit lagi dari tidur panjangnya. Jangan khawatir, ia tak akan bertahan lama untuk seorang laki-laki berusia 22 tahun ini. Aku sudah kebal dengan segala hal yang berbau kekecewaan, kegalauan, ataupun penolakan. Cukup dengan mendengarkan musik, berbagi informasi mengenai film atau bola bersama teman, dan kembali sibuk dengan dunia perkuliahan, aku rasa semua akan berjalan normal seperti biasa.

Setelah mengakui perbuatannya di sebuah kafe kopi pinggir jalan, AD bangkit dari duduknya, lalu pergi meninggalkan aku yang masih terdiam di kursi kayu ini. Aku mencuri pandang melihat langkahnya di balik kaca bening kafe. Seseorang menjemputnya dengan sebuah mobil sedan hitam. Aku tidak tahu siapa yang menjemputnya itu. Lebih tepatnya, tidak ingin tahu.

Sambil menyesap cappuccino hangat yang belum sempat kuhabiskan, mataku masih terpaku pada jalanan di luar dari balik kaca. Sekilas, aku melihat refleksi diri sendiri di sana sedang memegang cangkir. Rambut hitam sedikit bergelombang. Mata kecoklatan. Dagu diihiasi dengan jenggot tipis tanpa kumis. Aku malah tersenyum kepada bayanganku sendiri.

"Rugi sekali dia menyia-nyiakan laki-laki seperti aku," kataku pelan nyaris tak terdengar.

***

Seperti yang aku bilang, sakit hati tidak akan selamanya memenjarakanku. Semua berjalan normal di hari ketiga sejak peristiwa itu. Aku mencoba berpura-pura lupa, tapi temanku, DF, selalu berpikir bahwa aku masih ada di lingkaran kehancuran hidup. Oh, ayolah, aku tidak seburuk itu.

DF adalah teman SMA-ku dulu. Dia datang ke rumahku kemarin malam jauh-jauh dari Jakarta ke Bandung hanya untuk menemaniku. Padahal, aku sudah terbiasa sendirian.

"Kamu itu hanya terlalu berlebihan," kataku saat itu.

"Je, kamu tidak lupa kan pernah ditolak SM waktu kuliah semester 2?"

Aku tidak menjawab, tetap fokus membuat teh hangat untuk pagi yang dingin ini.

"Kamu mendadak jadi aneh, meski teman-teman tidak sadar akan hal itu. IPK kamu turun drastis. Belum lagi, kesehatan kamu yang lemah jadi pemicu kamu masuk rumah sakit saat itu."

Sambil mendengar DF, aku mengaduk gelas yang sudah terisi air panas dan gula, kemudian menyimpan teh celup di dalamnya.

"Terus, waktu selesai wisuda SMA 4 tahun lalu, tiba-tiba hubungan kamu diputuskan oleh FT secara sepihak. Kamu jadi sosok yang sulit mengendalikan emosi. Sering marah, berdiam diri di kamar, kadang juga menangis diam-diam."

"Minum dulu," kataku menyerahkan gelas ke tangannya. "Waktu itu aku masih dalam tahap labil. Jadi, harap maklum saja."

DF menyesap tehnya sedikit demi sedikit, lalu kembali melanjutkan pidatonya yang belum selesai.

"Urusan patah hati kan bukan hal yang sederhana. Paling tidak, aku di sini untuk memberi support agar kamu tetap bisa-"

Volume suara DF mendadak mengecil, lalu perlahan hilang tenggelam dalam ketidakmengertian pikiranku. Keringat dingin menetes di pelipis disusul oleh jantungku yang mulai terasa sakit. Aku memegang dada, merasakan detak jantung mulai berdetak di luar batas normal. Sial, mengapa ini terjadi lagi.

Sekilas, aku melihat DF tampak cemas melihat keadaanku yang seperti ini. Tapi, aku terlalu kaku untuk menggerakkan badan, bahkan untuk berdiri sekalipun. Lalu pada detik selanjutnya, aku roboh dan berbaring di lantai sampai tak sadarkan diri.

***

Begitu membuka mata, aku melihat DF berdiri memandang ke luar jendela. Aku pikir aku ada di kamar. Ternyata salah. Aku pasti ada di rumah sakit. Bau obatnya sangat tajam tercium. Bajuku pun telah terganti oleh baju khusus pasien berwarna biru langit.

Samar-samar di tengah kesadaranku yang belum sempurna, aku melihat tirai di sebelah kananku. Itu tempat tidur yang lain. Aku yakin itu. Tapi masalah ada pasien atau tidaknya, aku tidak tahu. Tidak terdengar suara apa-apa dari bilik sebelah.

"Rumah sakit lagi?" tanyaku lemas.

DF berbalik memandangku sebal. Mendekat perlahan dengan suara sepatu model boots-nya yang terdengar jelas.

"Berapa kali kamu lupa minum obat?" Dia balik bertanya.

"Cuma dua kali."

"Itu fatal, Je! Harusnya kamu selalu minum obat tanpa melewatkannya satu kali pun!" serunya dengan nada tinggi.

Aku menarik napas.

"Kalau aku tidak datang, gimana dengan keadaan kamu, hah? Ingat, kamu itu hanya tinggal seorang diri di rumah karena orangtua kamu sedang ada di Surabaya!"

Jujur, aku tidak ingin berdebat, tapi semua ini memaksaku untuk bangkit. Ketika aku mencobanya, hampir semua badan terasa sakit. Sial!

"Don't move." DF berkata pelan.

"Aku mau cari udara segar."

Sekali lagi aku mencoba. Berhasil duduk, meski selang infus sedikit menghalangiku.

"Don't move!" paksanya sekali lagi.

Aku mencoba berdiri dengan mengenakan sandal khusus yang tersedia di permukaan lantai sembari membawa selang infus yang tersambung ke lengan kiriku.

"Kalau kamu mau kondisi jantungku membaik, tetaplah di sini. Jangan kemana-mana. Aku hanya sebentar."

***

Sudah malam. DF pun pergi setengah jam yang lalu. Ada urusan pekerjaan yang sama sekali tak bisa ditinggalnya untuk hari esok. Maka dari itu dia pamit. Aku sangat berterimakasih padanya, juga meminta maaf. Benar katanya, jika tidak ada dia, aku tidak tahu akan seperti apa aku sekarang.

Besok pagi mungkin teman-temanku di kampus akan menjengukku di sini. Dengan begitu, aku tidak perlu khawatir lagi dengan kesendirian.

Aku sedang menikmati istirahat ini di atas kasur yang empuk dan selimut hangat, bahkan nyaris memejamkan mata. Tapi, semua itu terusik ketika seseorang tiba-tiba membuka pintu, lalu membuka juga tirai yang menghalangi tempat tidurku.

Dia perempuan muda berambut pendek yang sempat kutemui siang tadi di koridor rumah sakit.

"Apa yang-"

Sebelum aku menyelesaikan pertanyaanku, dia malah menangis.

***

Inisial nama perempuan tadi ialah CA, seorang pasien dari kamar sebelah yang dirawat di sini karena sebuah kecelakaan. Jalannya sedikit pincang, wajahnya tidak mulus lagi karena dipenuhi oleh goresan luka, dan kepalanya diperban. Separah itukah kecelakaannya?

"Jadi... kamu sedang mencari tunangan kamu?" tanyaku untuk memastikan.

"Iya," jawabnya sangat pelan memandang lantai.

Aku yang duduk di sampingnya semakin bingung harus melakukan apa. Tadi dia menangis, lalu sekarang seolah menjadi perempuan paling cuek yang pernah kukenal. Sulit ditebak.

"Lalu-"

"Tunanganku koma," katanya memotong pembicaraanku. Mata kami kemudian bertemu. "Dia dibawa ke Singapura untuk perawatan lebih lanjut dua hari yang lalu. Aku hanya merasa... dia ada di kamar ini, tepat di sebelah kasur kamu."

Oh, jadi tunangannya sempat dirawat di kamar ini. 

"Di sini pertama kali dia diberi pertolongan pertama saat kecelakaan itu," lanjutnya. "Oh, maaf, aku terlalu banyak bicara. Pastinya kamu merasa terganggu. Mungkin sebaiknya aku kembali ke kamar."

Kakinya langsung bergerak untuk melangkah lebih jauh. Tapi refleks, aku langsung menahan tangannya. Mata kami kembali bertemu.

"Keberatan kalau aku minta kamu untuk ada di sini sebentar lagi? Sepertinya, aku juga membutuhkan teman curhat."

Perempuan berambut pendek ini tidak langsung menjawab. Ia nampak masih memikirkan jawabannya.

"Tentunya aku tidak memaksa."

"Aku pun tidak keberatan," jawabnya.

Setelah itu, kami berdiri di balkon kamar ini sembari melihat bagaimana suasana kota Bandung jika dilihat saat malam hari. Lampu-lampu seperti bintang di langit malam, kendaraan masih banyak berlalu-lalang di pusat perkotaan, dan angin malam bertiup lembut seakan datang tanpa diundang untuk menemani kami.

Dia melanjutkan ceritanya yang belum tuntas. Tentu, masih tentang tunangannya. Mereka berdua menjalin hubungan selama kurang lebih dua tahun dan rencananya tiga bulan lagi akan menikah. Tapi, takdir berkata lain. Masih ada rintangan berat yang mesti mereka hadapi.

Aku pun sedikit menceritakan mengenai lemahnya jantungku yang kualami sejak sekolah dasar. Ia memandang iba, padahal nyatanya aku masih baik-baik saja sampai saat ini. Ya, meskipun beberapa bulan sekali harus melakukan kontrol.

"Kamu sendiri udah punya pacar?" tanyanya tiba-tiba membelokkan topik.

"Punya..." jawabku santai. "...tiga hari yang lalu."

Lagi-lagi pandangan iba itu tersirat dari kedua matanya. I really don't like it.

"Pasti... rasanya sakit, ya? Apalagi jadi korban perselingkuhan."

"Apanya yang sakit? I'm fine."

"Ya hati kamu. Siapa yang nggak akan sakit hati ketika dirinya diduakan?" Kami malah saling menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.

"Listen to me. How do you know about my broken heart probability? We have known each other for thirty minutes. Thirty-minutes. You... only know my self from cover, not inside."

Dia tersenyum simpul memandangku, nyaris tertawa. Dan... senyumannya sungguh indah. Aku hampir terhipnotis.

"Maaf kalau aku sok tahu."

"Nggak apa-apa, kok. Aku suka sama senyuman kamu..."

Apa? Apa yang tadi kukatakan? Aku benar-benar kehilangan konsentrasi barusan. SIAL!

"Maksud aku... aku suka sama perempuan yang sok tahu kayak kamu. Itu berarti aku suka sama kamu."

Perempuan ini langsung tertawa terbahak-bahak, memegang perutnya untuk menahan rasa sakit karena tertawa.

"Maaf, aku nggak pernah segugup itu sebelumnya," kataku malu menatap ke bawah balkon.

"Nggak apa-apa, kok. Aku suka sama laki-laki yang lucu... kayak kamu, misalnya."

Dan malam itu, kami berdua menghabiskan sepanjang malam dengan penuh tawa dan bahagia. Hanya ada suka, tanpa duka. Tentang tunangannya yang koma pasti masih menganggu di pikirannya. Tapi, bukankah kita tidak boleh terus berputar di kesedihan yang sama? Sesekali mencoba bangkit tidak ada salahnya, bukan?

Tanpa sengaja, di bawah kemilau bintang dan lampu-lampu bangunan di kota ini, mengenakan pakaian khusus pasien, telapak tangannya menyentuh tanganku. Aliran darah langsung mengalir lebih deras. Jantung pun berdetak lebih kencang. Semoga jantungku tetap baik-baik saja.

"Makasih ya, Julian, kamu udah bikin aku tersenyum hari ini," katanya menatap mataku, dengan senyuman yang lagi-lagi menghipnotis diri ini.

***

Clara Anastasya & Jonathan Mathew

Gadis di rumah sakit itu mengirim undangan pernikahannya tiga puluh menit lalu ke rumahku. Akhirnya setelah calon suami Clara sadar dari komanya, hubungan mereka berlanjut hingga ke jenjang pernikahan. Aku senang, dan tentunya harus datang ke pernikahan mereka.

Kebetulan saat itu ada Dion di sini. Aku dan dia memang sama-sama terkejut, tapi aku mencoba untuk lebih rileks.

"Aku percaya kamu akan baik-baik aja, Je. Lagipula, kamu belum suka sama dia, kan?" tanyanya memastikan.

"Belum, kok. Butuh waktu yang lebih lama untuk aku menyukai seorang perempuan. Bukan dengan waktu sesingkat itu."

"Good. Itu artinya, hati kamu nggak akan patah untuk yang kesekian kalinya."

"How do you know about my broken heart?"

"Jangan remehkan seorang sahabat, Je. Aku tahu di kondisi apa kamu akan patah hati, begitu pula dengan probabilitasnya."

Dan memang benar, justru sahabat lah yang lebih tahu mengenai peluang patah hati ini dan akan membantuku di saat-saat terburuk dalam hidup. Lalu, apa yang harus kukhawatirkan mengenai ini?

Selesai...

Cerita ini sudah ditulis sebelumnya oleh penulis di www.wattpad.com/gilangriy

[Gilang RYD, 2016]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun