Ia berjalan perlahan di tengah kota yang tak tahu cara padam.
Lampu-lampu menyala bahkan sebelum senja selesai merangkak. Etalase toko memantulkan wajah-wajah yang tak lagi tahu bedanya antara pantulan dan kenyataan.
Di saku jaketnya, selembar surat terlipat rapi.
Kertasnya tipis, sudutnya agak lecek karena terlalu sering dipegang tapi tak pernah dikirim.
Tulisannya tidak panjang. Hanya kalimat pendek yang terus ia tunda:
"Aku baik-baik saja, tapi tidak tahu artinya."
Baca Juga:Â Langit Tak Menjawab
Di tangan satunya, sebuah korek api: ringan, kosong, dan sudah lama tidak mengeluarkan percikan.
Tapi ia membawanya seperti jimat, atau sisa dari kebiasaan yang dulu pernah berarti.
Orang-orang menyalakan ponsel, layar, dan senyum kecil yang mudah dibuka tutup seperti etalase. Dunia terlalu terang. Terlalu ramai. Terlalu banyak suara yang tidak benar-benar ingin didengar.
Ia berjalan tanpa bayangan.
Bukan karena cahaya tak ada, tapi karena ia tak lagi punya bentuk yang utuh untuk dilemparkan ke aspal.
Kadang, ia berhenti di perempatan.
Bukan untuk menyeberang, hanya untuk memastikan dunia masih terus bergerak tanpanya.
Mobil berlalu. Langkah kaki bersilang. Tak satu pun memperhatikan seseorang yang membawa korek mati dan surat yang diam seperti debu di lemari.
Baca Juga:Â Bayangan di Dapur
Mungkin, ia pernah ingin membakar sesuatu.
Kenangan. Nama. Atau sekadar harapan yang tak tahu jalan pulang.
Tapi bahkan untuk itu, ia kehabisan api.
Kota tetap menyala.
Dan di tengah terangnya, seseorang mencoba jujur diam-diam,
meski tahu tak ada tempat sunyi yang tersisa.
Karena kadang, kejujuran tak butuh suara.
Hanya butuh tempat untuk duduk
dan tidak menyala.