Ada kanal yang bisu di jantung kota,
mengular seperti urat nadi yang lupa caranya berdenyut.
Ia membawa air setua legenda,
air yang dulu pernah mencium pergelangan tangan
gadis Bali yang dibeli dengan mata uang VOC
dan janji baptisan.
Air itu tidak tahu, bahwa tubuhnya dipakai mencuci
tulang, dan kesedihan.
Ia mengalir tanpa tujuan,
menggendong sisa-sisa cengkih yang pernah mekar
di mulut para penjajah,
rempah yang diremas menjadi kontrak,
disusun menjadi peta,
dan kemudian dibakar menjadi parfum
untuk kamar tidur seorang janda Belanda
yang tak pernah melihat laut.
Kanal-kanal ini adalah pergelangan tangan kota.
Luka yang tidak pernah dijahit.
Di tepinya tumbuh rumput yang tidak berani bersuara,
dan kadang, kursi plastik
di mana lelaki tua menjual waktu
dalam bentuk air kelapa dan dendam yang sudah basi.
Perahu-perahu dulu pernah lewat sini,
perahu dari kayu yang mencatat doa-doa dalam gelombang,
membawa merica dan anak-anak
yang tidak pernah kembali menjadi nama.
Hanya angka. Hanya berat muatan.
Hanya jejak pada buku besar perdagangan.
Tertulis dengan tinta dan rasa bersalah.
Ada suara-suara yang masih tinggal di dasar air,
suara ibu yang kehilangan bayinya
karena sang bayi lahir di antara peti kayu dan garam.
Ada suara pelaut dari Gujarat
yang patah hatinya karena Jakarta tidak punya bintang.
Ada suara tiang kapal yang digesek angin
seperti biola yang lupa nadanya.
Dan malam hari,
ketika kota tertidur dalam cahaya lampu jalan
yang sekarat seperti lilin dalam misa,
ikan-ikan kecil muncul,
mereka berenang seperti anak-anak yang tidak sempat dewasa,
mengendus sisa cengkih yang tenggelam ratusan tahun lalu,
dan sesekali,
menghindari botol plastik
yang hanyut bersama doa-doa hari ini.
Air dalam kanal itu asin, bukan karena laut,
tapi karena air mata
yang ditumpahkan diam-diam
oleh sejarah yang ditulis terlalu tergesa,
oleh kolonialisme yang memilih jalan air
sebagai jalan tercepat menuju keuntungan.
Kadang,
di bawah jembatan tua yang catnya mengelupas
seperti kulit dunia yang jemu,
seorang anak melempar batu,
dan percikan airnya
seperti percikan darah dari masa lalu
yang belum selesai dijelaskan oleh buku sejarah sekolah.
Karena kanal-kanal ini,
meski kini sunyi,
pernah menjadi mulut kota,
tempat air dan air mata
bercampur dalam satu kata yang sukar diterjemahkan:
penyesalan.