Lidah ibuku pernah patah.
Bukan karena sakit, bukan karena dusta,
melainkan karena sebuah kata yang tidak bisa diterjemahkan
ke dalam nada suara Tuan Residen
yang menyebut “kebun” sebagai plantage,
dan “anak” sebagai onderdaan.
Ia sedang menyuapiku bubur pagi itu;
sendok kaleng peninggalan tentara Hindia,
bubur jagung yang ditaburi abu-abu dari jendela dapur
di mana kamus-kamus tua dipajang seperti alat bedah:
kata demi kata dikuliti.
Dan di tengah mulutku yang ingin berkata “hangat”,
ibuku malah terdiam.
Karena tak ada kata “hangat” dalam buku kecil yang diberi
oleh guru Belanda yang menuliskan “temperatuur aangenaam”
dengan kapur pada papan, lalu meludah ke tanah.
Kadang-kadang lidahnya tergelincir.
Mengucap “air” jadi water,
“merdeka” jadi toestand van onafhankelijkheid,
“sayang” jadi affectie,
seolah suara yang keluar dari mulutnya
adalah puing dari perahu dagang yang tenggelam
di selat antara cinta dan kuasa.
Ia berkata “jendela”, tapi maksudnya “cahaya”.
Ia berkata “roti”, tapi maksudnya “rindu”.
Ia berkata “anak”, tapi di mata seorang pengawas tanam paksa,
yang ia sebut adalah statistik.
Di atas lemari, kamus tua itu terbuka di halaman “K”.
Kuli. Kampung. Kafir. Kapitulasi.
Kata-kata yang dulunya hidup dalam cerita rakyat
kini tersusun menurut abjad seperti narapidana yang antre makan siang.
Ibuku pernah mencoba menulis ulang bahasa sendiri
dengan pecahan porselen piring Belanda
yang hancur saat dijatuhkan diam-diam,
bukan karena jatuh, tapi karena muak diseka tangan berkebangsaan asing.
Tapi huruf-hurufnya menolak bersatu.
Abjadnya seperti mangga muda yang dipaksa matang:
asam, hijau, belum waktunya.
Di sekolah, aku belajar menyebut meja sebagai tafel,
tapi di rumah ibuku menyebutnya “tempat berdoa tergesa.”
Di sekolah aku menulis “aku bangga menjadi bagian dari kolonie ini,”
tapi ibuku diam-diam mencoret kata “bangga” dengan arang.
Ia bilang:
“Kalau kata-kata bisa berkhianat,
lebih baik kita bisu saja sampai hujan menghapus semuanya.”
Pada malam hari, sebelum tidur,
ia mengajari aku alfabet lain:
bukan ABC atau ABCD,
tapi a untuk angin, b untuk bau tanah,
c untuk cicak yang tak bisa dibasmi oleh Belanda.
Sebuah bahasa yang tidak dibukukan,
tapi hidup di antara rebusan, gumaman,
dan napas panjang sebelum menyuapku bubur kembali.
Dan kini, bertahun-tahun setelah ia tiada,
aku membaca kamus tua itu pelan-pelan,
halaman demi halaman,
dan mencatat semua kata yang gagal menyentuh makna.
Lalu aku menyobeknya satu per satu,
menyimpannya di dalam lemari makan,
agar suatu hari,
ketika aku menyuapi anakku bubur,
dan lidahku tergelincir,
ia tahu:
kata-kata itu bukan milik penjajah,
mereka hanya sedang tersesat,
dan sedang mencari jalan pulang lewat tubuh kita.