Ada suara klakson seperti doa yang tersesat
di tikungan Cempaka Putih.
Angin membawa debu dan sepotong kata yang belum selesai
dari mulut bocah penjual tisu,
aku tak menjawab.
Di halte yang penuh bayangan
aku berdiri,
membayangkan tubuhku sebagai benda tak bernama
dalam katalog kota ini.
Seseorang berkata, "Mas, kopi?"
Aku mengangguk.
Kata itu satu-satunya yang tetap tinggal di kepalaku,
sementara langit sore
mengelupas seperti cat tua
di dinding rumah yang ditinggalkan harapan.
Aku mencoba mengingat:
kata untuk "sunyi" dalam bahasa yang bisa dimengerti semua orang.
Tapi yang kutemukan hanya:
"Diskon!", "Cicilan 0%!", "Harga Teman!"
dan sejenisnya.
Jakarta seperti buku puisi yang dijual kiloan,
tak ada yang membacanya dari halaman pertama.
Orang-orang buru-buru hidup,
menyeberang jalan seperti menyeberang waktu
yang tak pernah cukup.
Dan aku di sini,
tubuhku duduk di bangku taman menteng,
tapi jiwaku naik ojek ke arah yang salah.
Aku berkata "terima kasih"
kepada tukang kopi keliling,
seolah itu bisa mengganti semua bahasa yang gagal
menjelaskan kenapa dada terasa sempit
di kota seluas ini.
Langit mulai turun,
menjadi hujan tipis yang malu-malu.
Dan aku,
lagi-lagi,
diam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI