Aku (Layla)
*greet..grett
Getaran ponsel menyadarkan imajinasiku, ku tutup novel, membatasi halaman terakhir yang ku baca dengan pensil berbentuk beruang. Raut wajahku tersenyum saat ku dapati pesan itu dari Fathir. Senyumku berubah menjadi kecut, karena hanya sebuah pesan balasan yang berkalimat singkat. Seharusnya ada kalimat sayang yang ku dapati. Tapi, kenyataannya hanya sebuah panggilan biasa sore ini. Bukan hanya novel yang berhasil ditutup, kini aku beranjak menutup ritual sore hari. Dan lihatlah, mentari perlahan bergerak ke barat, langit memuncratkan sinar ungu kemerahan.
Kakiku kini melangkah masuk kedalam kamar, berdiri tepat didepan lemari baju. Waktunya mempercantik diri, pergi menikmati sore yang berganti malam. Ku pilih kaos biru bertuliskan 'dream is f*ck', bercelana jeans, dan mengenakan sepatu yang telah kusam. Ya, aku siap mengarahkan motor kemana saja angin membawa kegelisahan hari ini.
Baim
Ditengah himpitan benda mati, tubuhnya tertidur pulas. Terbangun saat adzan berkumandang, tidak seperti lelaki pemalas lainnya. Ia cepat beranjak bangun, segera bergegas mandi dan mengambil air wudhu. Kini ia tengah khusyu dalam setiap gerakan, doa-doa telah terlantun dari bibir hitamnya. Kekhusyuan selepas senja telah usai.
Tepat pukul 6 sore hari, ia telah duduk menatap layar televisi bersama secangkir kopi hitam pekat. Sama seperti Layla dan Fathir, ia punya ritual menyenangkannya sendiri dikala senja. Ya, secangkir kopi ini adalah kekasih pertama dan terakhir buatnya. Berlebihan tapi itulah Baim. Tanpa kopi ia akan menjadi mati.
Remote televisi kini telah berganti ponsel digenggamannya.
To: Layla
Neng, lagi dimana? Kok sore ini gak ada beri kabar ya?
Senyum mengembang dari bibir hitamnya saat melihat pesan telah terkirim. Baim kembali menikmati layar televisi yang menyajikan berita-berita memuakkan. Jemari-jemari kasar itu mengetuk-ngetuk remote, perlahan gelisah itu membuncah. Dilihatnya lagi layar ponsel, tak ada jawaban.