Mohon tunggu...
Gilang Binario
Gilang Binario Mohon Tunggu... Freelancer - Lajang

Tiada Kesuksesan Tanpa Kerja Keras

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Memimpikan Indonesia Yang Bebas Korupsi

21 November 2019   20:45 Diperbarui: 21 November 2019   20:43 703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

            Persoalan Korupsi beberapa tahun terakhir ini amat santer dan hangat dibicarakan dalam masyarakat, bahkan sangat banyak dimuat dalam berbagai media cetak dan elektronik di tanah air yang tercinta ini. Korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa, bagaimana tidak? Korupsi telah menjadi momok penghambat laju pembangunan di negeri ini. 

Perilaku Korupsi, yang sudah berlangsung lama sejak Indonesia kuno, madya, hingga modern tampaknya telah membudaya. Bahkan kultur korupsi telah pada level yang membahayakan bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Indonesia bukannya tidak berupaya memberantas korupsi. Bergantinya rezim kepemimpinan sejak era orde lama, orde baru, hingga reformasi, pemerintah berusaha keras melakukan pemberantasan korupsi. 

Pada masa orde baru bahkan telah dikeluarkan TAP MPR mengenai pemberantasan korupsi dan puncaknya pada tahun 1971 pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. 

Meskipun sudah ada undang-undang dan tim khusus yang dibentuk oleh presiden Soeharto untuk menangani kasus-kasus korupsi, perbuatan itu masih dilakukan oleh pengkhianat bangsa. Bahkan Soeharto turun dari jabatan, karena adanya indikasi korupsi.

            Masyarakat mengira bahwa korupsi di masa orde baru akan hilang seiring dengan lengsernya Soeharto beserta kroninya. Dugaan masyarakat meleset, karena perilaku korupsi ternyata semakin menjadi-jadi di masa reformasi. 

Makin kronisnya tindak korupsi ini mendorong MPR mengeluarkan TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya TAP MPR ini adalah bahwa dalam penyelenggaraan negara telah terjadi praktik-praktik usaha yang lebih menguntungkan sekelompok tertentu yang menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para pejabat negara dengan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi penyelenggaraan negara dalam berbagai aspek.

            Sebagai tindak lanjut dari TAP MPR tersebut, Pemerintah bersama DPR menetapkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Upaya untuk mencegah dan memberantas KKN dalam UU Nomor 28 tersebut dituangkan dalam pasal 5 mengenai kewajiban penyelenggara negara. Beberapa kewajiban tersebut diantaranya: bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat, melaporkan dan mengumumkan kekayaannya, sebelum dan setelah menjabat, tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2001 tentang pembentukan Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi yang diharapkan mampu untuk memberantas korupsi.

            Tetapi dengan banyaknya Peraturan Perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dan juga pembetukan lembaga untuk memberantas korupsi nyatanya masih belum mampu untuk mendongkel taji korupsi. Alih-alih korupsi berkurang signifikan, sejauh yang kita amati, korupsi justru makin mewabah, salah satu bukti nyatanya banyak sekali terjadi Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap pejabat publik yang kita saksikan beritanya di televisi. 

Mereka yang jadi tersangka OTT seakan-akan tidak memiliki rasa malu melambaikan tangan dan menebar senyum ke kamera. Hal ini disebabkan hukuman yang diberikan untuk pelaku kejahatan korupsi di Indonesia belum memberikan efek jera bagi para koruptor. Perlu lebih dari sekedar melahirkan suatu peraturan perundang-undangan untuk dapat memberantas korupsi, keberadaan undang-undang pemberantasan korupsi hanyalah satu dari sekian banyak upaya pemberantasan korupsi.

             Disamping peraturan perundang-undangan yang kuat pemerintah sebaiknya mendorong aparat penegak hukum yang berwenang untuk memberantas korupsi dengan cara-cara yang tegas , berani, dan tidak pandang bulu,serta membuat hukuman yang memberikan efek jera bagi koruptor misalnya dengan meniru negara Tiongkok dengan memberikan hukuman mati atau kalau dirasa tidak manusiawi maka koruptor bisa dimiskinkan,Penegakan hukum pidana juga tidak dapat diharapkan sebagai satu-satunya sarana yang efektif dalam penanggulangan korupsi di Indonesia, disamping penegakan hukum juga diperlukan kesadaran masyarakat dalam pemberantasan korupsi. Kesadaran masyarakat hanya dapat timbul apabila masyarakat mempunyai pengetahuan dan pemahaman akan hakikat tindak pidana korupsi yang diatur di dalam  undang-undang, untuk itu sosialisasi merupakan hal yang sangat penting yang perlu terus dilakukan secara simultan dan konsisten.

                        Negara juga harus peran lembaga pemberantasan korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi yang selama ini pencapaian kinerjanya perlu diapresiasi walaupun belum maksimal, bukan malah memperlemah lembaga tersebut seperti yang lagi hangat pada belakangan ini yaitu di revisinya undang-undang KPK yang dinilai banyak pihak dapat memperlemah KPK, diantaranya independensi KPK, pembentukan dewan pengawas, izin penyadapan, dan kewenangan penghentian perkara. Undang-undang KPK memang perlu direvisi demi pemberantasan korupsi yang lebih maksimal, tetapi perubahan yang dilakukan saat ini tidak tepat. Seharusnya Pemerintah lebih mendorong kinerja KPK yang belum dirasa maksimal Pertama, dengan menciptakan undang-undang baru yang menciptakan sistem pencegahan korupsi yang menyeluruh, dengan adanya sistem yang menyeluruh tersebut, KPK dapat secara maksimal melakukan supervisi ke berbagai instansi baik pemerintah maupun swasta. Kedua, revisi UU KPK harus difokuskan dengan penambahan sumber daya manusia, dimana jumlah yang ada saat ini masih belum seimbang dengan beban kerja KPK.

            Berbagai upaya pemberantasan telah dilakukan oleh negara Indonesia,tetapi sejauh ini masih jauh panggang dari api, untuk itu perlu adanya kampanye pembaruan moral (moral reform) kepada aparatur negara dan  hukum, serta masyarakat luas. 

Pembaruan moral yang seharusnya mendapat perhatian ialah rasa malu dan moral kejujuran. Pemberantasan korupsi akan mendapatkan hambatan ketika rasa malu, kejujuran dan rasa bersalah sudah semakin tipis dalam sistem budaya masyarakat. Dengan argumentasi itu, korupsi selayaknya tidak lagi dipahami sebagai suatu gejala hukum, tapi dimengerti dan direspons sebagai gejala sosial budaya. 

Di sinilah, peran Pemerintah yang diiharapkan giat dan berkesinambungan melakukan kampanye antikorupsi sebagai bagian dari upaya membangun kesadaran hukum masyarakat, kampanye antikorupsi bukan hanya retorika belaka tetapi harus ditunjukkan dengan aksi nyata sehingga cita-cita Indonesia yang bebas korupsi dapat terwujud.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun