Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Katarsis Sang Alkemis Roberto Mancini

14 Juli 2021   19:39 Diperbarui: 16 Juli 2021   03:00 1454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelatih timnas Italia, Roberto Mancini (tengah) bersama Gianluca Vialli (kiri) menjelang pertandingan babak 16 besar Euro 2020 menghadapi Austria di Stadion Wembley, London, pada 26 Juni 2021. (Foto oleh Laurence Griffiths/POOL/AFP via kompas.com)

Kala masih aktif bermain Roberto Mancini merupakan salah satu pesohor di Serie A, satu diantara banyaknya trequartista andal yang dimiliki Italia, namun di level Timnas tak ada catatan sejarah penting soal pemain bernama Roberto Mancini.

Bersama Sampdoria dia kalah dalam final Piala Champions Eropa edisi 1992 yang dihelat di Wembley atas Barcelona lewat skor 0-1, Ia juga dipecat sebagai manajer Manchester City pasca tumbang di final Piala FA 2013 silam di tempat yang sama. Baginya Wembley terasa begitu menyedihkan.

Namun demikian, partai puncak Piala Eropa 2020 yang dihelat di Wembley tak ubahnya katarsis bagi Roberto Mancini. Bersama keluarga Sampdoria-nya, Alberico Evani dan Gianluca Vialli, eks bos Internazionale dan Man. City itu membelokkan sejarah kelam menjadi narasi sukacita. 

Lantas, bagaimana Mancini menangkal tuah Wembley sekaligus meruat Timnas Italia yang sebelum Ia datang tengah berada dalam kondisi terpuruk imbas tak lolos ke Piala Dunia 2018 di Rusia?

Mancini Sang Alkemis
Mancini mengawali karirnya sebagai pelatih bersama Fiorentina (2001/02) dan berhasil mempersembahkan satu gelar coppa Italia, setahun berselang Ia menangani Lazio (2002/04) dan menorehkan gelar yang sama, sebuah trofi Coppa Italia. 

Baru di tahun 2004, Ia dilirik oleh Internazionale Milan. Disinilah Mancini menasbihkan diri sebagai pelatih yang layak diperhitungkan di Eropa.

Pada periode 2004-2008, Ia berhasil menghimpun tujuh trofi dengan rincian 3x juara Serie A, 2x juara Coppa Italia, dan 2x Piala Super Italia. 

Meski gelar scudetto perdana Ia rengkuh di bawah bayang-bayang kasus Calciopoli, tepatnya saat pengadilan Italia memutuskan menarik gelar Juventus lalu diberikan kepada La Beneamata.

Namun kualitasnya kembali teruji bersama Manchester City. Selama tiga musim, Ia berhasil meraih tiga gelar diantaranya juara Liga Primer (2011/12), Piala FA (2010/11), dan FA Cup (2012).

Selain sukses di Italia dan Inggris, Ia mencoba peruntungannya di Liga Turki bersama Galatasaray dan berhasil meraih trofi Liga musim 2013/14.

Namun pada periode keduanya di Inter (2014-2016) Ia gagal menorehkan trofi. Selaras saat Ia menangani Zenit St. Petersburg (2017/18). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun