Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Efek Domino Dualisme Tata Kelola Sepak Bola Indonesia

24 November 2020   14:41 Diperbarui: 25 November 2020   20:58 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aliansi Aremania Make Malang Great Again (MMGA) yang diikuti sekitar 2000 orang menggelar aksi damai bentuk kegerahan Aremania atas kasus dualisme yang sudah terjadi selama 9 tahun lamanya dari kawasan Patung Singa hingga Gedung DPRD Kota Baru Malang, Jawa Timur, Senin (16/11/2020) siang. (KOMPAS.com/Suci Rahayu)

Sementara itu, ketua Askot PSSI Medan, Iswanda Ramli, juga mengamini apa yang dinyatakan Kodrat Shah, bahwa klub-klub anggota yang bernaung di bawah PSMS mestinya sudah bernaung di bawah organisasi yang dipimpinnya. Lagi pula PSMS tak punya tugas lagi untuk menggelar kompetisi internal sebabnya itu sudah menjadi tanggung jawab askot.

Konon, tahun 2021 mendatang klub amatir atau anggota PSMS itu akan mulai berkompetisi di bawah naungan Askot PSSI Medan. Hingga tak ada lagi dualisme, sebab efeknya terasa ke finansial PSMS sendiri. Tak ubahnya Persija Jakarta di masa lalu, klub berjuluk Ayam Kinantan Medan itu juga mesti rela ditinggal banyak sponsornya akibat dualisme yang tak kunjung selesai.

Revolusi Bonek Mempertahankan Persebaya yang Asli

Persebaya
Persebaya "LPI" (Gambar Disadur dari SejarahPersebaya.com)

Satu lagi klub besar yang terjebak dualisme tata kelola, yakni Persebaya Surabaya, seperti diketahui dualisme klub berjuluk The Green Force itu berlangsung cukup lama mulai 2010 hingga akhirnya Persebaya mendapat sanksi pada 2014 dan baru reda pada tahun 2017.

Per 2014, Persebaya pun tak boleh mengikuti kompetisi resmi PSSI selama tiga tahun lamanya. Persebaya 1927 dan Persebaya yang berkiprah di Divisi Utama, menjadi benang kusut yang menyebabkan mereka terkena sanksi.

Mayoritas Bonek Mania saat itu memilih Persebaya 1927. Sebetulnya benih-benih dualisme Persebaya ini tidaklah ditebar saat konflik PSSI dan KPSI berlangsung. Ceritanya sangat panjang, bahkan dimulai sejak LSI 2009/10.

Kala itu, Persebaya harus melewati babak play off agar bisa terhindar dari degradasi ke Divisi Utama. Lawan yang dihadapi adalah Persik Kediri. Singkat cerita ketika Bonek sudah mendatangi Kediri pertandingan tiba-tiba ditunda. Secara regulasi mestinya tim Bajul Ijo dinyatakan menang Walk Out (WO) 0-3.

Namun sesuatu yang ganjil terjadi, PSSI malah memberikan kesempatan kedua bagi Persik untuk menggelar laga di waktu yang lain dengan venue pertandingan yang dipindahkan ke tempat netral; Yogyakarta. Tapi panitia kembali gagal menggelar laga.

Seperti yang sebelumnya terjadi, tak ada sanksi dari PSSI bagi Persik Kediri, mereka malah memberi kesempatan ketiga bagi pihak Persik untuk menjadwal ulang laga. Kali ini Persik memilih stadion Brawijaya. Namun laga kembali gagal dihelat. Setelah tiga kali gagal, PSSI memberikan solusi jika laga digelar di Palembang saja.

Kali ini giliran Persebaya yang menolak hadir, sebabnya pihak Bajul Ijo merasa berhak atas kemenangan WO. Runyamnya lagi, PSSI bersikukuh bila Persebaya mendapatkan WO karena menolak hadir di Palembang dan terdegradasi ke Divisi Utama musim itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun