Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Waktunya Berbicara Harapan, Sebab Hanya Itu yang Kita Punya Sekarang

15 Oktober 2020   13:40 Diperbarui: 15 Oktober 2020   14:00 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber Foto: PosKata.com)

Namun, harapan bisa saja memukul kita lewat kekecewaan. Bila kita terlampau berharap pada data dan fakta yang tak sesuai, pendeknya kita terlalu jauh berharap tanpa melihat keadaan yang sebenarnya. Paradoks harapan inilah yang mesti kita jaga. Jangan sampai tergelincir saat memainkan harapan.

Hanya Itu yang Kita Punya Sekarang

Berharap keadaan berangsur lebih baik dan berharap vaksin segera tersedia sesungguhnya sama saja. Ketika otoritas terkait memberikan kabar baik tentang vaksin maka sejatinya kita sedang diberikan harapan. Sebabnya, vaksin tersebut juga masih bisa dikategorikan sebagai harapan terbaik saat ini karena belum siap edar (masih terus diuji).

Bila kemudian kita mesti memelihara harapan itu, maka tak ada salahnya kita merayakan harapan. Sebuah perayaan yang satir. Pun dengan segala polemik politik yang tengah mendera negeri ini. Lagi-lagi, kita hanya bisa merayakannya lewat harapan.

Berbicara harapan, peradaban telah membuktikan bahwa manusia merupakan makhluk yang berharap. Hidupnya terdorong oleh harapan, bahkan sejak orang tersebut bangun tidur dan kemudian melakukan aktivitas, bila Ia tak punya harapan hidup yang lebih baik maka untuk apa beraktivitas? Pun dengan kondisi akhir-akhir ini, harapan pula lah yang bisa menyelamatkan manusia dari kesulitan.

Lingkungan sosial biasanya punya partisipasi sangat besar bagi tiap individu. Misalnya, kita sedari kecil sudah meyakini kepercayaan tertentu dan menghidupi nilai-nilai yang ada di masyarakat sekitar. Segala pola pikir dan laku lampah kita merupakan bentukan dari kehidupan sosial-masyarakat kita.

Begitu pula dengan harapan, Ia adalah bentukan dari lingkungan sosial kita. Manusia yang lahir di keluarga pedagang cenderung berharap ingin menjadi pedagang besar. Manusia yang lahir di keluarga atlet cenderung berharap ingin mengikuti jejak leluhurnya itu, dan seterusnya.

Termasuk ketika seseorang hidup di daerah konflik tentunya Ia punya harapan agar perang segera usai atau kita yang sedang berada di daerah yang tengah dilanda wabah/bencana pastinya berharap semua jadi lebih baik.

Agaknya setiap manusia punya harapan dari kondisi terburuk sekalipun. Sebabnya harapan menyelamatkan kita dari kematian. Mati dalam hidup, karena orang yang kehilangan/tak punya harapan itu telah mati dalam hidup.

Sekali lagi, orang yang hidup tentu selalu punya itu, bahkan orang yang hendak mati saja masih menyampaikan harapannya untuk bisa masuk surga. Apalagi orang yang jelas-jelas masih hidup.

Satu hal yang mesti kita sadari, dalam beratnya kehidupan kita masih punya harapan, dalam absurdnya kehidupan kita masih punya harapan, dalam sulitnya kehidupan kita masih punya harapan. Kuncinya jalani saja, karena memang hanya itu yang kita punya sekarang!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun