Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Adakah Imbas Omnibus Law bagi Industri Sepak Bola?

11 Oktober 2020   11:41 Diperbarui: 11 Oktober 2020   15:30 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sepak Bola Indonesia (KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

Permendagri yang ditaken dan disahkan pada Mei 2011 itu jadi titik awal bagaimana klub sepak bola bertransformasi menjadi lebih profesional atau dalam bahasa statuta FIFA disebutkan sebagai industri sepak bola yang juga dilandasi oleh Club Licensing Regulation.

Manuver populer yang dipilih oleh kalangan klub adalah membentuk Perseroan Terbatas (PT). Meski demikian, komposisi kepemilikan saham tetaplah tak lepas dari para birokrat. Seperti dinukil Tirto.id dari Ditjen AHU dengan periode akses mulai 23 November 2017-22 Maret 2018, salah satu klub yang dimiliki pejabat daerah adalah Persela Lamongan yang dikelola PT. Persela Jaya.

Dalam akta per 23 Maret 2016, kepemilikan Persela dipegang dua pejabat daerah. Bupati Lamongan Fadeli sebagai ketua umum dan Sekretaris Daerah Yuhronur Efendi. Konon keduanya memiliki masing-masing 50 persen saham. Namun kemudian keduanya tak memiliki jabatan di kepengurusan Perseroan ini. Dirut PT diisi oleh Debby Kurniawan, anak Fadeli, yang juga ketua DPD Partai Demokrat.

Selain Persela Lamongan, ada pula PT. Persipura Jayapura yang sebagian sahamnya dimiliki oleh birokrat. Manase Robert Kambu (Eks Walikota Jayapura dua periode 2000-2010) mempunyai 30 persen saham di perusahaan tersebut, proporsinya sama dengan dua rekannya Benhur Tomi Mano (Walikota Jayapura saat ini).

Selain Jayapura, Bupati Kepulauan Yapen, Tonny Tesar, juga sempat masuk ke jajaran kepemilikan klub Perserui Serui -- saat ini bertransformasi menjadi Badak Lampung FC.

Data di atas bisa dilihat secara keseluruhan, pemilik saham terbesar klub terbagi menjadi beberapa kelompok: perusahaan, pengusaha, hingga pejabat daerah. Secuil narasi bahwa meskipun klub telah disapih dengan APBD sekalipun sepak bola tak pernah lepas dari para birokrat.

Aturan Bosman dan Omnibus Law Bagi Pemain Bola
Sebelum adanya aturan Bosman, para pemain bisa sewenang-wenang dikekang oleh klub dan tak memiliki kebebasan terhadap karirnya sendiri. Bosman Ruling ini jadi tonggak revolusi industri sepak bola.

Dalam sejarahnya, Jean-Marc Bosman, dilarang pindah oleh klubnya, RFC de Liege. Dunkerque, pada tahun 1990. Padahal kontraknya dengan RFC de Liege sudah kadaluwarsa. Hal tersebut bikin Bosman bingung lantaran kontraknya telah habis namun haknya buat pindah ke klub lain dikekang oleh klub yang dibelanya.

Pihak klub kemudian hanya memberikan sekitar 25 persen gaji Bosman selama kontraknya berakhir sampai ada klub baru yang menyanggupi nilai transfer untuk meminang Bosman.

Merasa diperlakukan tidak adil kemudian Bosman membawa persoalan ini ke Pengadilan Eropa di Luksemburg. Berdasarkan regulasi transfer dan status pemain FIFA pasal 17, Bosman mesti berhadapan dengan pihak RFC de Liege, federasi sepak bola Belgia, dan UEFA.

Butuh lima tahun bagi Bosman untuk mencari keadilan. Pada 5 Desember 1995, Pengadilan Eropa akhirnya mengetuk palu untuk memenangkan gugatan Bosman sehingga melahirkan tiga aturan baru yang dikenal dengan Bosman Rulling.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun