Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Persib Rasa Bayern Munchen 1990/91

20 Oktober 2018   12:51 Diperbarui: 20 Oktober 2018   14:52 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapten Supardi menangis saat final ISL 2014 lalu. Foto dikutip dari SportaNews.com.

Pada musim Bundesliga 1990/91, seluruh fans Wattenscheid, Werder Bremen, Gladbach, Nurnberg, Cologne, dan seyogyanya penikmat sepakbola Jerman bersekutu mendukung Kaiserlautern untuk menjadi jawara. Ketika itu Kaiserlautern kejar-kejaran poin dengan tim besar paling dibenci di Jerman: Bayern Munchen.

Sumbu kebencian bukan berasal dari iri hati karena Bayern berlimpah prestasi/terlalu diktator di kompetisi Bundesliga melainkan rasa ketidaksukaan fans tim-tim gurem dengan cara Bayern menggembosi para rivalnya. Acapkali ada pemain menonjol di tim rival atau juga di tim kecil, Ull Moness (manajer Bayern) selalu rela merogoh kocek berapapun untuk talenta-talenta yang dimiliki tim lain di semenanjung Jerman. Dengan cara hedonism itu, tim proletar merasa perlu mendukung tim Kaiserlautern sebagai tim yang bernasib sama ketimbang membiarkan Bayern juara.

Di laga pamungkas yang amat menentukan, fans Werder Bremen meminta timnya untuk memberi kemenangan buat Kaiserlautern demi memuluskan misi: menggagalkan para pemain Bayern angkat trofi. Dan semua sesuai skenario, ketika Bayern kalah 2-1 di Wattenscheid, fans Werder Bremen berhamburan ke lapangan merayakan kemenangan Kaiserlautern dengan skor akhir 2-1.

Saat itu, seluruh kota Munich menyadari betapa orang-orang membenci klub yang mereka cintai, siapapun itu 'orang-orang' disana pastinya yang tengah merayakan kekalahan Bayern. Para fans, pemain, staff pelatih, official,Bayern bergidik, termenung dibawah naungan ketidakadilan. "Seluruh Republik membenci kita!" Kata manajer Bayern. Ull Moness.

Apa yang menimpa Munchen 27 tahun silam terjadi di Liga 1 2018, klub Persib Bandung yang tengah berpacu di lajur juara harus menerima kenyataan pahit. Persatuan sepakbola seluruh Indonesia (PSSI) dirasa memperlakukan tim kebanggaan warga Jabar itu secara tak adil, bahkan lebih tak adil dari apa yang pernah menimpa Munchen.

Memang sanksi berat yang diterima Persib dan bobotoh imbas dari tragedi meninggalnya Haringga Sirila yang merupakan salah satu Jakmania -- mutlak kesalahan bobotoh --, di sekitaran Stadion GBLA, Bandung beberapa waktu silam. Siapapun akan sepakat dengan hukuman berat kepada pelaku/tersangka pengeroyokan, larangan bermain di pulau Jawa, bahkan laga tanpa penonton. Hal tersebut cukup untuk memberi efek jera akan fanatisme buta.

Akan tetapi, setelah dikaji terdapat beberapa hukuman yang merugikan yang sama sekali tak ada keterkaitannya dengan peristiwa tersebut. Termasuk larangan bermain yang ditujukan kepada beberapa pilar andalan Persib. Ezechiel (lima pertandingan), Bojan Malisic (empat pertandingan), dan Jonathan Bauman (dua pertandingan). Sebelumnya Patrice Wanggai, Inkyun Oh, Dedi Kusnandar, Febri Hariyadi, Ardi Idrus, dan Ghozali Siregar pun tidak bisa dimainkan dalam beberapa laga krusial, dengan alasan yang berbeda-beda.

Interpreter Mario Gomez pun tak luput dari ganjaran sanksi. Fernando Soler tak boleh mendampingi tim hingga akhir musim Liga 1 2018 karena mengintimidasi wasit (saat melawan Persija) dengan kata-kata: "Kalau Persib tidak menang, maka kalian tidak bisa keluar dari stadion". Akumulasi sanksi yang diperoleh Persib menggambarkan jika PSSI yang notabene delegasi sepakbola Indonesia terlalu sensitif terhadap Persib.

Betapa tidak, apa yang dilakukan Bauman dan beberapa rekannya masih dalam batas wajar. Duel, sikutan, dan gerakan-gerakan yang mengakibatkan benturan serta adu fisik hal biasa di sepakbola. Jika pun benar mereka melanggar law of the game semuanya akan terlihat salah dimata publik Persib karena momen dalam menerbitkan sanksi yang dirasa kurang pas. Persib seperti jadi aktor utama ungkapan yang berbunyi: sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Kondisi compang-camping menjadi musafir dan tanpa dukungan penonton bukan masalah berarti buat Gomez. Ia tahu bagaimana mempertahankan mental tim. Namun perlu kita ketahui jika duet Bauman-Ezechiel adalah otak tim, dan duet Igbonefo-Bojan adalah jantung tim yang jadi kunci sistem birokrasi pertahanan dan permainan efektif ala Gomez. Belum lagi Soler yang tugasnya sangat vital dalam menerjemahkan intruksi Gomez kepada para pemain. Apa jadinya sebuah tim bermain tanpa otak dan jantung, bahkan tanpa komunikasi yang efektif?

Juara atau Degradasi?
Ketidakondusifan tim Persib mulai teratasi dengan kembalinya dua pilar andalan yang baru saja pulang membela Timnas, Dedi Kusnandar dan Febri Hariyadi. Tentu saja ini jadi modal berharga menjelang pertandingan melawan Persebaya Surabaya, di Stadion Kapten I Wayan Dipta, Gianyar, Bali, pada Sabtu (20/10).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun