Mohon tunggu...
gijenal
gijenal Mohon Tunggu... Administrasi - hearer

ingin menjadi pendengar yang baik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Indonesia Darurat Toleransi?

21 Februari 2019   18:53 Diperbarui: 13 Agustus 2019   17:38 4434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Vihara dibakar, kebaktian gereja dibubarkan paksa, bercadar dikira teroris, ada pula pertemanan yang renggang gara-gara beda pilihan capres, orang enggan melawat tetangga karena yang meninggal mendukung cagub yang tidak dipilihnya. Masalah intoleransi di Indonesia kini mulai menjadi perhatian. 

Apa sebetulnya yang menjadi sumber penyebab fenomena tersebut, agama kah? Atau politik? Jika iya apakah agama dan politik lebih baik dihapuskan saja dari pada hanya menimbulkan masalah?

Tapi jangan terburu-buru dulu mengambil kesimpulan hanya berdasarkan logika seperti di atas, kita perlu lebih dari logika, perlu data lebih, analisis lebih, kepekaan yang lebih, sehingga kesimpulan yang didapat juga lebih tepat, karena ternyata intoleransi tidak hanya terjadi pada persoalan agama atau politik saja di Indonesia.

Intoleran sendiri adalah ketidakmampuan atau ketidaksiapan menerima perbedaan pandangan, kepercayaan dan perilaku orang lain. Selama hanya terbatas pada tataran sikap dan gagasan, pandangan intoleran adalah sesuatu yang normal. Karena setiap orang cenderung untuk membenarkan keyakinan yang telah dipercayainya. Namun intoleran akan mulai menjadi persoalan ketika diterjemahkan dalam bentuk tindakan.

Alih-alih mencari kasus intoleransi beragama yang tengah populer, saya dihadapkan pada realita yang saya temui sehari-hari, betapa banyak persoalan sederhana yang mencerminkan ketidak-toleranan kita, ketidakmampuan kita dalam menerima keberagaman yang ada, hal-hal sepele yang kadang dianggap lumrah dan tidak tabu untuk dilontarkan pada orang yang tidak sepaham, yang mungkin tidak begitu berarti dibandingkan isu-isu yang dianggap lebih besar, penting dan sensitif seperti politik atau agama. Namun, bukankah sesuatu yang besar itu selalu berasal dari hal kecil terlebih dulu?

Misalnya selera musik, hiburan atau fashion yang berbeda saja kerap kali masih jadi permasalahan yang dapat menghambat interaksi sosial. Menyukai musik K-Pop dinilai punya selera rendahan, para fansnya dianggap punya standar maskulinitas yang aneh, belum lagi cacian tentang operasi plastik yang selalu dituduhkan pada member boy band. 

Suka Anime langsung dianggap kekanak-kanakan, nolep, dan kurang bisa bergaul. Kalau orang bertattoo, sudah lumrah distempel "orang gak bener", kriminal, pemabuk, atau tidak punya etika. 

Muncul pula fenomena anak gunung vs anak mall, kopi cafe vs kopi sachet, anak indie vs anak dahsyat, mahasiswa aktif vs mahasiswa pasif dimana semua orang saling sindir, saling cela, saling berusaha terlihat lebih unggul. Dan masih banyak contoh hal-hal sederhana lainnya yang membuat interaksi sosial terganggu atau membuat hubungan kurang baik sebagai sesama manusia. 

Lalu kalian tiba-tiba menuntut toleransi beragama di Indonesia? Hohoho, tidak semudah itu Suharto!

Masalah intoleransi diatas mungkin saja dapat berbalik keadaannya jika terjadi di tempat lain. Misalnya fans K-Pop yang fanatik melarang temannya memutar musik dangdut. 

Penyuka Anime mencibir orang yang suka nonton sinetron atau FTV. Orang bertattoo yang menyindir temannya cupu karena tidak berani mentattoo tubuhnya. 

Pakai contoh soal agama? Bisa.. Misalnya di beberapa daerah di Indonesia, sekelompok umat Islam menolak pembangunan gereja. Tapi pada saat yang sama, sejumlah komunitas gereja di beberapa daerah Indonesia yang mayoritas penduduknya Kristen juga menolak pembangunan masjid.

Dengan begitu, sikap toleran dan intoleran bukan monopoli suatu kelompok apalagi suatu agama. Sebab setiap orang dan kelompok berpotensi bersikap intoleran. Lebih jauh lagi dijelaskan, bahwa  wujud  dari  ketiadaan toleransi  adalah  hidupnya  prasangka  sosial antar  kelompok  dalam kehidupan  bermasyarakat (Baron & Byrne, 2012). 

Prasangka  sosial  sendiri  dapat  diartikan sebagai antipati yang berdasarkan kepada kesalahan dan kekauan generalisasi terhadap kelompok tertentu secara keseluruhan, atau kepada individu karena dia menjadi bagian dari kelompok tertentu. Bisa dalam hanya bentuk perasaan atau dalam wujud perilaku (Allport, 1954).

So, jika prasangka sosial ini terus-menerus kita pelihara dan kita asah setiap hari, kita latih setiap hari dengan terbiasa menjudge selera, penampilan, atau hobi orang lain serta hal-hal sepele lainnya, tentu akan sangat masuk akal menjelaskan mengapa kasus intoleransi beragama atau politik marak terjadi dewasa ini.  

Menegakkan toleransi di Indonesia yang majemuk ini tentu tidak mudah, namun bukanlah tidak mungkin, agar dapat terciptanya kerukunan, kedamaian dan keindahan sentosa antar umat manusia. Yang perlu kita lakukan ialah mencoba  meminimalisir prasangka dan memperbanyak komunikasi serta tidak menutup diri. 

Belajar toleran bisa dimulai dengan saling menghargai selera atau tindakan orang lain, hal-hal kecil yang sering kita jumpai sehari-hari. Jika sudah terbiasa, niscaya menerapkan toleransi dalam hal sensitif seperti agama maupun politik dapat diwujudkan.

"Ujian keberanian datang ketika kita berada di dalam minoritas. Ujian toleransi muncul ketika kita berada di dalam mayoritas" (Ralph W. Sockman)

Jakarta, Februari 2019

oleh : gijenal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun