Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Salah Nada, Nyawa Taruhannya

22 Juni 2016   09:52 Diperbarui: 24 Juni 2016   08:32 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: natureandeducation.com

Gara-gara nuliskomendi lapak seorang "profesor", aku jadi teringat dongeng Mbah Putri zaman dahulu kala. Ini tentang nocturnalnature's concerto alias konser alam, khususon yang diwakili senandung absurd para kodok malam. Ya. Bukan hanya kupu-kupu yang bisa disetel siang – malamnya, kodok pun bisa.

Saat hujan deras malam hari dan kolam-kolam serta selokan terbanjiri, para kodok malam biasanya bersuka ria bak kenduri. Mereka berenang-renang kian kemari di kolam dadakan. Bercampur dengan sampah genangan, mereka adakan konser amal, amal bagi para manusia yang sedang kesepian.

Memang suaranya sedikit sumbang, tetapi itu justru menguatkan itikad baik mereka, yaitu menyumbang suara. Kalau tidak sumbang, terkesan tak ikhlas sumbangannya, tak ikhlas amalnya.

Meski sumbang, bisa dirasakan bahwa para kodok malam menggunakan prosedur standar dalam bermusik seperti halnya manusia. Paling tidak ada tiga nada suara kodok dalam konsernya. Dalam bentuk ejaan memang hanya berbunyi kung, kong, dot; tetapi dalam bentuk notasi musik bisa ditulis 5 – 3 – 1 alias sol – mi – do. Secara harmonik trinada, ini akord C mayor namanya. Yang minor tidak ada, karena meski kodok betina ikut bersuara, yang dandan berlebihan sepertinya tidak ada.

Konser kodok malam semisal konser angklung, masing-masing pegang satu nada. Meski urutan nada cuma begitu-begitu saja, anggota konser kodok tak cuma tiga. Bisa sekampung-seselokan. Karena ada pemain cadangan dan juga perkusinya. Pemain perkusi biasanya mengeluarkan bunyi "erek-erek" saja. Hanya ada yang membedakannya dengan konser musik biasa ala manusia. Konser kodok malam dilengkapi tim algojo. Ada tim eksekutornya.

Saat ada kodok yang salah nada, tim algojo langsung menanganinya, menangkap dan mengeksekusinya. Kalaupun lari, akan terus dikejar ke manapun hingga mati kelelahan. Mungkin hanya sedikit di antara pelanggar nada yang bisa selamat, entah karena berhasil sembunyi atau ditolong alam semesta dengan berbagai cara. Tapi intinya: salah nada, nyawa taruhannya. Itu hukum mereka, tak perlu dianalisis dengan hukum-hukum di Belanda sana.

Tentang konser kodok itu, sebagian memang Mbah Putriku yang punya cerita. Bahwa kodok yang salah nada saat konser akan dikejar dan dihukum hingga tamat riwayatnya. Maka tak heran jika kadang ditemukan ada kodok mati suatu pagi setelah hujan deras semalam dihiasi bunyi nyanyian. Aku tak berani membuktikan sendiri karena kodok merupakan salah satu makhluk yang pernah kutakutkan. Aku percaya saja dan hanya mampu membuktikan lewat pendengaran. Aku mencermati suara konser kodok malam hingga beberapa kali. Saat terjadi kesalahan, misal saat bunyi "kung" bukan diikuti bunyi "kong", melainkan "dot", konser akan terhenti sejenak. Dalam pikiranku, itulah saat para eksekutor menjalankan tugasnya, saat si pelanggar nada mendapatkan hukumannya. Saat si pelanggar dikejar-kejar, pemain cadangan segera menggantikan.

Sekilas memang terlihat ada ketidakadilan. Karena hanya pemain musik harmoni yang dikenai pasal pelanggaran nada, sementara pemain perkusi aman-aman saja. Hal ini karena pemain perkusi masih junior usianya sehingga ditugaskan untuk berbunyi "erek-erek" saja. Masih kecil, masih di bawah umur, belum layak dihukum; sesuai rekomendasi KPAK (Komiter Perlindungan Anak Kodok). Tim algojo diambil dari mantan pemain harmoni yang berhasil survive puluhan atau mungkin ratusan kali konser; berat sekali fit and proper test-nya. Itulah 'susahnya' jadi kodok.

Dunia hewan memiliki mekanisme sempurna untuk memberi pelajaran para manusia. Sekilas sangat sederhana di mana 5 – 3 – 1 terbalik menjadi 5 – 1 – 3. Yang 5 – 1 – 3 dianggap pelanggaran berat di dunia kodok sehingga dieksekusi mati. Deretan 5 – 1 – 3 itu sebenarnya juga melambangkan pelanggaran di dunia manusia. Terutama jika dieja sebagai so.. do.. mi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun